Salah satu fakta yang dipaparkan yaitu seorang siswa SMKN di Semarang. Siswa kelas XI itu tak bisa naik kelas XII pada 2016 karena mata pelajaran agamanya kosong. Selidik punya selidik, siswa tersebut adalah Penghayat Kepercayaan.
Pihak sekolah berdalih dengan Pasal 12 ayat 2 poin a UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyebutkan:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjadi masalah karena keyakinan siswa tersebut tidak terdefinisikan dalam UU sehingga ia tak bisa mendapatkan nilai 'agama', dan ujungnya tidak naik kelas.
"Oleh karena itu, dalam pendidikan formal, yaitu pendidikan kepercayaan bagi peserta didik Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memang belum diatur dalam UU yang dimaksud. Ssehingga menimbulkan banyak kesulitan bagi anak didik untuk dapat sekolah dengan baik, bahkan mereka dipaksa untuk mengikuti salah satu agama," ujar Tumbu Saraswati sebagimana tertulis dalam risalah sidang MK yang dikutip dari website MK, Kamis (4/5/2017).
Tumbu dalam kasus siswa itu menjadi salah satu tim advokasinya. Akhirnya kasus di atas bisa diselesaikan secara mediasi, antara pihak sekolah, kuasa hukum dan Wali Kota Semarang.
"Kami sebagai senior dan sebagai teman-teman Diknas yang lain itu bisa menjembatani mereka bisa ikut, tetapi harus mengikuti ulangan dengan tes dari guru-guru aliran Kepercayaan," ujar Tumbu dalam sidang yang digelar pada 22 Februari lalu.
Tumbu juga mengantongi cerita seorang siswa Penghayat Kepercayaan di Sumatera Utara yang tertarik masuk militer. Siswa tersebut akhirnya mengaku beragama Kristen, tapi saat tes, ia tidak bisa menjawab materi ujian agama Kristen.
"Inilah syarat yang sulit sekali karena KTP mereka kosong. Untuk menjadi diterima, mereka menulis agamanya Kristen. Itu merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum. Tetapi pada waktu wawancara dia tidak bisa berbohong karena dia bukan Kristen, tapi Penghayat. Akhirnya dia dikeluarkan," tutur Tumbu.
![]() |
Dengan banyaknya perlakuan diskriminatif negara terhadap para Penghayat Kepercayaan, Tumbu meminta sudah saatnya negara memberikan kesempatan pada Penghayat Kepercayaan untuk menuliskan keyakinannya di kolom agama pada KTP.
"Adanya perlakuan diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan dengan dikosongkan kolom agama dalam KTP, banyak pihak yang beranggapan bahwa Penghayat Kepercayaan adalah orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Bahkan kadang-kadang secara kasar mereka dianggap sebagai orang kafir. Hal ini lebih lanjut mempunyai dampak atau kendala antara lain dalam perkawinan yang dilakukan oleh Penghayat Kepercayaan berdasarkan tata cara kepercayaan yang dianutnya tidak bisa dicatat. Akibatknya mereka tidak bisa memperoleh akta kawin dan pada akhirnya anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka tidak bisa memperoleh akta kelahiran sebagai anak yang sah," papar Tumbu panjang lebar.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa Penghayat Kepercayaan adalah orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.Tumbu Saraswati |
Sidang gugatan itu atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 ayat 1 dan ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Sidang tersebut sudah memasuki tahap akhir yaitu kesimpulan. Setelah itu, MK akan bermusyawarah untuk memutuskan nasib Penghayat Kepercayaan di kolom KTP: kolom tetap kosong, 'terpaksa' jadi penganut agama lain atau diizinkan menuliskan keyakinannya. (asp/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini