"Tadi secara umum, kami jelaskan kasus BLBI ini tidak bisa dilepaskan peranannya dari tekanan IMF terhadap Indonesia," ujar Rizal setelah menjalani pemeriksaan di KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (2/5/2017).
Rizal mengatakan saat itu terjadi krisis moneter pada 1998 yang berimbas pula pada Indonesia. Rizal mengatakan saran dari IMF malah menyusahkan kondisi Indonesia saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi seperti itu, menurut Rizal, memaksa pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bahar minyak. Kebijakan-kebijakan itulah yang, menurut Rizal, memicu kasus BLBI yang saat ini disidik KPK.
"Nah pada waktu itu, pemilik-pemilik bank yang dibantu oleh BLBI pada dasarnya dibantu mereka, tanda tandan tunai, minjem tunai ya harus dibayar tunai. Eh, tapi pada pemerintahan Habibie, dilobi diganti nggak usah bayar tunai, tapi asalkan menyerahkan aset saham, tanah, bangunan," ucap Rizal.
Namun, menurut Rizal, yang menggantikan Kwik Kian Gie sebagai Menko Perekonomian pada Agustus tahun 2000, para pemilik bank yang dibantu BLBI itu malah menyerahkan aset yang busuk. Nilai aset-aset yang diberikan tidak sepadan dengan pinjaman yang dilakukan.
"Kalau obligornya benar, dia serahkan aset yang bagus, yang sesuai dengan nilainya. Tapi juga ada kasus di mana menyerahkan aset busuk yang nilainya tadi sepadan pada waktu dilakukan evaluasi tentang BLBI," jelas Rizal.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka. Kasus berawal pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat Presiden RI. KPK menyebut perbuatan Syafruddin menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,7 triliun. (dhn/fdn)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 