Ditjen Pemasyarakatan harus memutar otak bagaimana mengatasinya. Peneliti Pusako Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat, Charles Simabura meminta aparat penegak hukum jangan asal menahan orang. Polisi, jaksa dan hakim diminta profesional dan memikirkan masak-masak apabila hendak menahan.
"Bagi aparat penegak hukum diharapkan untuk tidak terlalu mudah memberikan status penahanan bagi tersangka atau terdakwa khususnya pada tindak pidana umum. Karena selama ini seringkali tahanan dititipkan di LP dikarenakan keterbatasan ruang tahanan penyidik, penuntut dan pengadilan dan rumah tahanan negara. Hal demikian ikut berkontribusi bagi kelebihan daya tampung lembaga pemasyarakatan," ujar Charles dalam sela-sela diskusi bersama Menkum HAM Yasonna Laoly diskusi di Hotel JW Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis-Jumat (20-21/4/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Tangerang, Tajudin ditahan karena tuduhan eksploitasi anak. Penjual cobek itu dinilai memanfaatkan dan menarik keuntungan dari anak-anak yang membantunya. Tajudin mendekam 9 bulan di penjara dan dibebaskan karena tuduhan itu tak terbukti.
Baca Juga:
Tragedi Si Miskin: Penjara Dulu, Keadilan Kemudian
Cara mencegah over kapasitas lainnya yaitu setelah terdakwa menjadi terpidana. Mereka harus diberi akses remisi, pembebasan bersyarat(PB) dan cuti menjelang bebas (CMB), dengan mudah.
"Selama ini pemberian remisi, PB dan CMB bagi pelaku tindak pidana umum seringkali dipersulit bahkan banyak yang kehilangan haknya tersebut. Banyak narapidana yang tidak mengetahui hak mereka dan seringkali dibebani dengan pungli manakala mereka mengajukan haknya," kata Charles.
![]() |
"Dikarenakan remisi, PB dan CMB merupakan hak, semestinya diberikan secara otomatis tanpa melalui proses permohonan yang berbelit-belit," ujar Charles.
Charles juga setuju PP 99/2012 untuk direvisi, khusus terpidana narkoba. Pengetatan remisi kepada pengguna narkoba dinilai tidak efektif dalam pemberantasan kejahatan narkoba. Saat ini, hanya 28 persen gembong narkoba dari terpidana kasus narkotika yang menghuni penjara.
"Terkait kebijakan remisi dapat diberikan bagi sesorang yang terlibat narkoba khususnya pengguna dan tidak ditujukan kepada bandar," cetus Charles.
Namun, Charles menilai revisi PP 99 di atas bukan solusi utama dalam menyelesaikan permasalahan over kapasitas. Sebab over kapasitas menjadi tanggung jawab bersama, dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
"Akhirnya melakukan revisi PP 99/2012 tidaklah menyelesaikan persolan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan konstitusi maka kejahatan luar biasa harus ditanggulangi dengan upaya yang luar biasa sejak dari proses peneyelidikan sampai dengan pemidanaan," papar Charles.
Hadir dalam kesempatan mantan Wakil Ketua MK Harjono, mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan, guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Nyoman Serikat Putra Jaya dan Prof Adji Samekto, guru besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Hartiwiningsih dan guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho.
Tampak hadir pula ahli pencucian uang Yenti Garnasih, pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum Refly Harun, Direktur Pukat UGM Oce Madril, Pjs Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari dan Direktur Puskapsi Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono.
"Saya setuju PP 99 direvisi, tapi tidak setuju untuk pengedar dan produsen narkoba," kata guru besar Ilmu Hukum Pidana, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof I Nyoman Serikat Putra Jaya. (asp/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini