
(Reuters) Kepala Kepolisian Filipina, JenderalRonalddelaRosa, memutuskan menangguhkan kebijakan perang terhadap narkoba dan membubarkan kesatuanantinarkoba.
Kepolisian Filipina menangguhkan kebijakan perang terhadap narkoba sampai personel kepolisian yang "korup" di negara itu telah "dibersihkan".
Kepala Kepolisian Filipina, Ronald dela Rosa, menegaskan bahwa kesatuan antinarkoba akan dibubarkan. Langkah itu ditempuh setelah Dela Rosa menerima perintah dari Presiden Rodrigo Duterte untuk 'membersihkan organisasi terlebih dahulu'.
"Kami akan membersihkan korps kami lalu mungkin setelah itu, kami bisa melanjutkan peperangan terhadap narkoba," kata Dela Rosa kepada wartawan.
- Presiden Duterte ancam 'lempar para koruptor dari helikopter'
- Leila de Lima, perempuan penantang Presiden Filipina Rodrigo Dutert
- Diduga terkait narkoba, para pejabat Filipina serahkan diri
Kebijakan perang terhadap narkoba yang dibuat Presiden Duterte telah menuai kritik tajam dari berbagai kelompok pembela hak asasi manusia dan negara-negara Barat, meski di dalam negeri Duterte mendapat sokongan kuat dari rakyat.
Pada awalnya dia berjanji menuntaskan masalah narkoba hingga Desember 2016, tapi setelah tenggat berlalu, dia memperpanjangnya sampai Maret 2017. Keputusan itu kembali diralat.
"Saya akan memperpanjangnya sampai akhir masa jabatan saya, Maret tak lagi berlaku," kata Duterte, yang menjabat hingga 2022.
- Perang narkoba di Filipina: Perempuan yang membunuh para pengedar
- Perang narkoba di Filipina 'perlu waktu lebih lama'
Senator Leila De Lima, lawan politik Duterte yang terkenal tajam mengkritik, menilai presiden dan kepala kepolisian seharusnya memberi perintah mengakhiri pembunuhan.
"Pembubaran kesatuan antinarkoba di tubuh kepolisian berarti 'mereka tahu bahwa rekan-rekan mereka terlibat dalam operasi anti-narkoba ... terlibat dalam kegiatan ilegal di balik kedok perang melawan narkoba," kata De Lima sebagaimana dikutip stasiun televisi ANC.
(AFP/Getty Images) Kebijakan perang terhadap narkoba yang dibuat Presiden Duterte telah menuai kritik tajam dari berbagai kelompok pembela hak asasi manusia dan negara-negara Barat, meski di dalam negeri Duterte mendapat sokongan kuat dari rakyat.Kepolisian korup
Berdasarkan data pemerintah Filipina, lebih dari 7.000 orang telah dibunuh sejak peperangan terhadap narkoba dan pengedarnya dimulai saat Duterte menyandang jabatan presiden.
Salah seorang yang tewas adalah pebisnis asal Korea Selatan, Jee Ick-joo. Jee tewas di markas kepolisian pada Oktober 2016 lalu setelah diculik dari rumahnya dan dibunuh kesatuan anti-narkoba.
Departemen Kehakiman belakangan menyatakan Jee diculik dengan alasan razia narkoba. Setelah mencekiknya, pembunuhnya berpura-pura Jee masih hidup untuk meminta uang tebusan ke keluarga Jee.
Insiden itu membuat berang Duterte.
"Anda polisi adalah yang paling korup. Anda korup hingga ke akar-akarnya," kata Duterte, seraya menambahkan bahwa 40% polisi terbiasa untuk korupsi.
Sebelumnya, Duterte membenarkan aksi tembak di tempat terhadap pengedar narkoba. Dia menegaskan akan membela polisi yang membunuh pelaku kejahatan dan warga sipil demi tugas.
"Ketika saya mengatakan saya akan melindungi polisi, saya akan melindungi polisi. Namun, saya tidak akan melindungi kebohongan," ujarnya.
(nwk/nwk)










































