Kasus bermula ketika Tuti pulang dari Guangzho, China, dan tiba di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pada 28 Desember 2014. Setelah digeledah oleh petugas, ditemukan sabu-sabu yang tersimpan dalam 12 bungkusan plastik seberat 2.102 gram. Mendapati hal itu, dia diamankan oleh petugas Kantor Pelayanan Bea-Cukai Tipe Madya Pabean B Yogyakarta.
Atas temuan itu, petugas memprosesnya ke jalur hukum. Kasus pun bergulir ke pengadilan.
![]() |
Jaksa menuntut Tuti dengan hukuman mati. Pada 19 Mei 2015, Pengadilan Negeri (PN) Sleman menjatuhkan hukuman kepada Tuti penjara seumur hidup. Vonis itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta pada 12 Agustus 2015.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana selama 20 tahun penjara," kata majelis kasasi sebagaimana dilansir website MA, Jumat (30/12/2016).
Duduk sebagai ketua majelis Dr HM Syarifuddin, dengan anggota Sumardjiatmo dan Desnayeti. Sehari-hari, Syarifuddin merupakan Wakil Ketua MA bidang Yudisial.
![]() |
MA beralasan meringankan hukuman karena Tuti disuruh dengan gaji Rp 5 juta. Selain itu, Tuti merupakan single parents yang mempunyai 2 anak dan sekarang sedang hamil.
"Merupakan pertimbangan manusiawi yang sangat relevan untuk dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan yang melepaskan terdakwa dari ancaman maksimal sebagaimana alasan kasasi.
MA juga membenarkan Tuti ditangkap saat aksi ketiganya. Dua kali ia melakukan hal serupa, tapi lolos. Hal itu telah memenuhi unsur Pasal 114 ayat 2 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Indonesia terpuruk ekonominya, bandar narkotika memperalat terdakwa dengan dikawini/dipacari, kemudian diperalat untuk kepentingan sindikat internasional. Perlu dipikirkan untuk bangsa sendiri yang menjadi korban karena keterbatasan intelektual, keterpurukan ekonomi sehingga terperosok ke kegelapan hidup," ucap majelis pada 2 Februari 2016. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini