"Keinginan PDIP untuk membentuk tim pemenangan sendiri guna memenangkan pasangan Ahok-Djarot dapat menimbulkan masalah. Pertama, secara hukum, aturan Pilkada hanya mengenal satu tim pemenangan untuk setiap pasangan calon," kata Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, dalam siaran pers, Senin (26/9/2016).
Tim pemenangan atau yang resminya disebut dengan Tim Kampanye haruslah tim yang dibentuk secara bersama-sama oleh pasangan calon dengan partai-partai pendukungnya. Daftar nama tim pemenangan harus pula didaftarkan secara resmi kepada KPUD pada saat pencalonan, mulai dari tingkat provinsi sampai dengan tingkat kecamatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan sangat berbahaya jika dalam Pilkada terdapat pasangan calon yang memiliki tim pemenangan yang liar atau tidak resmi. Sebab, apabila terjadi pelanggaran, implikasi hukumnya akan berbeda antara pelanggaran yang dilakukan oleh tim pemenangan resmi dan tim pemenangan liar.
"Sebagai contoh, kalau tim pemenangan resmi terbukti melakukan money politics, maka pasangan calon dapat didiskualifikasi. Tetapi kalau praktik menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya itu dilakukan oleh tim pemenangan yang tidak resmi, maka pasangan calon bersangkutan tidak dapat dikenai sanksi pembatalan. Jadi harus saya tegaskan bahwa pasangan Ahok-Djarot, termasuk pula pasangan Anies-Sandi dan pasangan Agus-Sylvi, hanya boleh memiliki satu tim pemenangan saja, yaitu tim pemenangan resmi yang didaftarkan ke KPUD," ingatnya.
Kalau pun Ahok punya tim sendiri, lalu PDIP, Golkar, Hanura, dan Nasdem masing-masing punya tim sendiri, itu boleh-boleh saja. Tetapi ke semua tim itu harus menyatu dalam satu tim besar yang disebut dengan Tim Kampanye Ahok-Djarot.
Tim pemenangan atau Tim Kampanye merupakan salah satu persyaratan wajib bagi pasangan calon untuk ditetapkan menjadi peserta Pilkada. Kalau ada pasangan calon yang tidak menyerahkan daftar nama Tim Kampanye kepada KPUD, maka pasangan calon bersangkutan harus dicoret dari pencalonan.
Merujuk Pasal 42 ayat (1) huruf t Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2016 terkait Pencalonan, daftar nama Tim Kampanye merupakan dokumen yang wajib diserahkan kepada KPUD sebagai pemenuhan syarat pencalonan.
"Kedua, secara politik keinginan PDIP membentuk tim pemenangan sendiri akan sangat tidak menguntungkan bagi pasangan Ahok-Djarot. Sebab, hal itu dapat menciptakan problem soliditas di antara partai-partai pengusung pasangan calon tersebut," kata Said.
Kalau sampai ada lebih dari satu tim pemenangan, dan masing-masing tim itu kemudian bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi di bawah satu garis komando, misalnya, maka tentu dapat berpotensi menggangu grand design strategi pemenangan dari pasangan calon petahana tersebut.
Tidak hanya itu, ada pula potensi munculnya gesekan bahkan perpecahan di antara partai-partai pengusung Ahok-Djarot yang lain.
"PDIP nanti bisa dituding macam-macam. Jadi saran saya sebaiknya tidak perlulah PDIP membentuk tim pemenangan sendiri. Mereka melebur saja dalam tim pemenangan yang sudah dibentuk sebelumnya oleh Pak Ahok bersama Golkar, Hanura, dan Nasdem. Secara hukum kedudukan PDIP dan ketiga partai yang lain dalam pencalonan pasangan Ahok-Djarot adalah sama. Tidak ada istilah pengusung utama, pengusung kelas dua, dan seterusnya. Keempat partai itu sama-sama disebut sebagai pengusung, tanpa tingkatan," katanya.
Bahwa jika dengan melebur dalam tim pemenangan yang sudah ada kemudian PDIP menginginkan posisi Ketua Tim Kampanye, menurut Said, itu terbilang wajar dan masuk akal. Bagaimana pun faktanya PDIP adalah partai yang memiliki basis dukungan pemilih lebih luas jika dibandingkan dengan Golkar, Hanura, dan Nasdem jika dilihat pada hasil perolehan suara Pemilu 2014.
Begitu pun jika dilihat dari segi kepemilikan kursi DPRD DKI Jakarta yang menjadi syarat pencalonan pasangan Ahok-Djarot. PDIP adalah partai yang memiliki kursi DPRD lebih banyak dibandingkan dengan Golkar, Hanura, dan Nasdem.
"Jadi secara politik saya kira bisa dimengerti jika PDIP, misalnya, hanya sekedar menginginkan posisi Ketua Tim Kampanye Ahok-Djarot, walaupun itu bukan merupakan suatu keharusan," katanya.
"Sebagai contoh, pada Pilpres 2014, walaupun Golkar menjadi partai peraih suara dan kursi DPR terbesar dalam koalisi pendukung pasangan Prabowo-Hatta, partai tersebut merelakan posisi Ketua Tim Kampanye justru diberikan kepada orang lain," pungkas Said.
(van/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini