Sebagaimana dilansir AFP, Kamis (15/9/2016), perempuan 71 tahun peraih Nobel Perdamaian itu dilarang pihak militer Myanmar untuk mengatasnamakan pemerintahan Myanmar. Namun dia tetap mendapat perlakuan sebagai pemimpin saat di Washington.
Dalam kunjungan pertamanya ke AS setelah dia terpilih tahun lalu, Suu Kyi akan bertemu para sekretaris kabinet selama tiga hari ke depan. Kemudian, dia akan mengadakan pembicaraan dengan Obama, dan menjalani sesi foto di Kantor Presiden AS yang disebut sebagai Kantor Oval.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kunjungan ini, akan ada pula pidato soal kebebasan, perdamaian, dan transisi. Namun pembicaraan tertutup antara Obama dan Suu Kyi sepertinya akan bertemakan penguatan pemerintahan Suu Kyi.
Setelah menghabiskan waktu sedekade di bawah penahanan, dia telah mengambil peranan seperti menteri luar negeri dan membuat posisi baru untuk dirinya sebagai konselor negara. Sebagai pemimpin de facto, dia memimpin pemerintahan pemerintahan skeletal (mirip otoritarianisme), dan juga memimpin ekonomi yang telah dirusak oleh kediktatoran yang kleptokratis. Dia juga memimpin negara yang terbelah oleh kekerasan etnis dan agama.
Sejak terpilih, Suu Kyi mengejutkan pendukungnya di Barat karena mengikuti pemimpin junta militer. Yang paling diingat adalah menolah mengakui Rohingya, etnis minoritas Muslim dalam negara mayoritas Buddha itu.
Sepuluh ribu Rohingya tanpa kewarganegaraan telah menghabiskan empat tahun terkahir dalam situasi terjebak di kegelapan kamp, dengan akses kesehatan dan layanan dasar yang terbatas.
"Dia harus menyelesaikan permasalah-permasalahan itu satu demi satu," kata pembantu kepercayaan Obama, Ben Rhodes, yang telah memelopori kebijakan untuk Myanmar.
Pertanyaan besar untuk Obama barangkali adalah sejauh apa dan secepat apa untuk mempertahankan sanksi. Pada Mei, Washington mencabut embargo finansial dan perdagangan terhadap bank dan bisnis yang dimiliki negara. Obama kemudian menghapus perintah eksekutif yang menyatakan Myanmar dalam keadaan 'darurat nasional'. Menghapuskan perintah itu berarti adalah membawa kejelasan untuk perusahaan AS yang melakukan bisnis di Burma, membantu secara ekonomi dalam pemerintahan Suu Kyi.
Namun itu juga bisa melemahkan pengaruh AS, barangkali juga membiarkan pengaruh militer agar lepas. Pejabat pemerintahan masih mengontrol konglomerat berbisnis besar.
Mereka juga menjamin seperempat kursi legislatif, memberi mereka veto dalam perubahan konstitusional yang butuh reformasi mendasar, termasuk mereformasi kontrol militer terhadap sipil.
"Kami ingin mendengar dari dia (Suu Kyi) secara langsung tentang bagaimana dia memandang sanksi kami," kata Rhodes.
Agaknya, sikap Gedung Putih yang tak langsung dikatakan adalah AS percaya dia dapat mengendalikan risiko politik yang berbahaya. "Ini menarik untuk melihat transisi yang dia lakukan, dari ikon menjadi politisi, seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis," kata Rhodes. (dnu/dnu)