Dear Jokowi, Korban Peradilan Sesat Ini Belum Mendapat Ganti Rugi Rp 5 Juta

Dear Jokowi, Korban Peradilan Sesat Ini Belum Mendapat Ganti Rugi Rp 5 Juta

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 26 Agu 2016 17:59 WIB
Sri Mulyati (andi/detikcom)
Jakarta - Pada 2012, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan ganti rugi ke Sri Mulyati sebesar Rp 5 juta. Uang itu sebagai ganti rugi karena menjadi korban peradilan sesat. Sayang, gemerincing uang itu tak kunjung berbunyi di kantongnya.

"Sayangnya, sampai saat ini gemerincing uang ganti rugi sejumlah Rp 5 juta dan pengembalian uangnya sejumlah Rp 2 juta dari negara belum dirasakan Sri," kata Direktur LBH Mawar Saron Semarang, Ester Natalya dalam siaran pers yang diterima detikcom, Jumat (26/8/2016).

Sri awalnya dituduh mempekerjakan anak di bawah umur di tempar karaoke. Padahal, Sri hanyalah kasir tempat karaoke. Alibinya tidak dihiraukan aparat dan menghuni tahanan selama 13 bulan. Sri baru bebas setelah hakim agung Komariah Emong Sapardjaja membebaskannya. Atas kezaliman hukum yang dialaminya, Sri menggugat negara dan dikabulkan. MA memvonis bahwa negara harus memberikan ganti rugi Rp 5 juta ke Sri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Telah lewat 4 tahun sejak diputus bebas oleh Mahkamah Agung hingga saat ini Sri Mulyati belum memperoleh ganti rugi dari negara," ucap Ester.

Rumitnya birokrasi serta kurangnya perhatian dari Negara terhadap korban salah tangkap dan peradilan sesat disinyalir sebagai faktor penyebab ganti rugi kepada Sri Mulyati tak kunjung dilaksanakan. Hukum yang seharusnya membahagiakan masyarakat justru sebaliknya malah mempersulit masyarakat untuk mendapatkan keadilan.

"Ironisnya penyebab Sri belum menerima ganti rugi adalah karena lambannya penanganan proses pembayaran ganti kerugian dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM)," cetus Ester.

Gerah dengan lambannya kinerja Kemenkumham, LBH Mawar Saron Semarang akhirnya bersurat kepada Presiden Jokowi pada 24 Maret 2016 lalu. LBH meminta perhatian khusus untuk pembayaran ganti rugi dari negara untuk kliennya. Tapi Sri merasa dipingpong karena ia disurati lagi oleh Kemenkum HAM yaitu meminta LBH Mawar Saron berupa salinan putusan pengadilan di perkara itu. Padahal surat yang dimaksud telah dikirim pada tanggal 27 Januari 2015.

"Hal ini sehingga membuat bertanya-tanya, kemana perginya Surat dari Ketua Pengadilan Negeri (PN) Semarang tersebut selama 1 tahun 7 bulan? LBH Mawar Saron Semarang sangat menyayangkan kinerja Kemenkumham sehingga kliennya harus mengalami kesimpang siurannya atas proses pembayaran ganti kerugian," papar Ester.

Kasus Sri juga mendorong lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015. Dengan PP tersebut, seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, dapat dengan mudah mendapatkan ganti kerugian dari negara dengan nominal yang jauh berbeda dari yang didapat Sri. Perubahan PP ini telah dirasakan oleh dua orang pengamen Cipulir, Andro dan Nurdin, yang permohonan ganti ruginya telah dikabulkan oleg Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sebesar Rp 72 juta.

"LBH Mawar Saron Semarang berharap Kemenkumham sebagai lembaga yang konsen terhadap hak-hak asasi manusia dan merupakan bagian dari proses pencairan ganti rugi bagi Sri, segera berbenah dalam melakukan pelayanannya, karena sebaik-baiknya peraturan jika tidak dilaksanakan dengan baik, peraturan tersebut menjadi tidak berarti. Ibarat, payung hukum yang diberikan oleh Negara, tetapi tidak bisa dibuka," pungkas Ester. (asp/van)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads