Wakil Ketua Komisi I DPR: Jika Palsukan Keterangan, Menteri ESDM Bisa Dipidana

Wakil Ketua Komisi I DPR: Jika Palsukan Keterangan, Menteri ESDM Bisa Dipidana

Ahmad Toriq - detikNews
Senin, 15 Agu 2016 18:28 WIB
Foto: Ilustrator Mindra Purnomo
Jakarta - Polemik soal kewarganegaraan Menteri ESDM Arcandra Tahar bergulir bak bola salju, karena belum ada penjelasan gamblang dari pria asal Padang, Sumatera Barat itu. Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais menyebut Arcandra bisa dipidana penjara jika ketahuan sengaja mengaburkan statusnya.

"Kasus Arcandra Tahar adalah bentuk kreativitas dan terobosan Pak Presiden untuk menyiasati fenomena brain drain atau human capital flight, akan tetapi sepertinya tidak teliti, sehingga tanpa sadar sedang melakukan pelanggaran hukum, dalam hal ini UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia," kata Hanafi kepada wartawan, Senin (15/8/2016).

Menurut Hanafi, pelanggaran yang dilakukan Arcandra adalah bersedia menerima jabatan sebagai menteri, padahal sudah kehilangan kewarganegaraan sebagai WNI. Hanafi menyebut Arcandra dari awal sudah memanipulasi data dirinya. Atau bahasa gamblangnya, kata Hanafi, sudah tidak jujur terhadap Presiden.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hanafi Rais

Sebagai seorang philosophy doctor, Hanafi melanjutkan, seharusnya Arcandra memahami bahwa dengan mempunyai paspor Amerika, maka dapat diartikan sebagai warga negara Amerika (otomatis kehilangan status sebagai WNI). Dalam UU Nomor 12 tahun 2006 Bab IV pasal 23 huruf h dan i tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, jelas disebutkan: (h) mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya;

"Jika konsisten mengimplementasikan UU ini, maka mundur atau dimundurkan tidak cukup, ada ketentuan pidana seperti yang diatur dalam pasal 36 dan 37. Apabila karena kelalaian, maka pidana penjara paling lama 1 tahun, sedangkan ada indikasi kesengajaan, maka terkena pidana penjara paling lama 3 tahun," ujar Waketum PAN ini.

Berikut bunyi pasal 36 dan 37 UU Nomor 12 tahun 2006:

Pasal 36

(1) Pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 37

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia atau memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Hanafi melanjutkan, kewarganegaraan Republik Indonesia pertama kali diundang-undangkan pada tahun 1958 melalui UU Nomor 62 tahun 1958, kemudian menyesuaikan perkembangan zaman, ada perubahan pasal 18, maka disahkan UU baru melalui UU nomor 3 tahun 1976. Berkaca pada kasus ini, masih kata Hanafi, jikalau Presiden mempunyai visi dan misi untuk memanggil putra putri terbaik Indonesia yang menjadi diaspora, maka relevan kiranya mengamandemen UU Nomor 12 tahun 2006, sehingga tidak timbul persepsi publik sebagai orang yang tidak tahu aturan yang berlaku.

"Terakhir, tanpa mengurangi substansi hak preogratif Presiden dalam menentukkan kabinet, ada baiknya ruang terbatas dalam diskusi proses penentuan kabinet melibatkan bawahan yang kompeten dan cekatan, sehingga tidak menimbulkan blunder seperti ini," pungkas putra sulung Amien Rais ini. (tor/van)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads