Tradisi ini digelar setahun sekali setiap hari ke-10 bulan Syawal. Sore ini belasan dokar sudah dihias dengan aneka bunga dan beragam asesoris menarik bak dokar wisata.
Nantinya dokar-dokar itu akan dinaiki warga dari Kelurahan Boyolangu menuju Pantai Watu Dodol sejauh 15 Km. Hanya warga Boyolangu yang memiliki tradisi ini Puter Kayun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyuwangi festival akan konsisten mengangkat tradisi lokal masyarakat setempat. Festival yang sifatnya tradisi lokal akan tetap kami gelar di daerah tersebut, bukan justru kami usung ke kota. Selain untuk menjaga tradisi dan ritual yang ada, ini juga sebagai cara untuk menumbuhkan banyak obyek atraksi wisata di Banyuwangi," ujar Anas, di Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi, Jumat (15/7/2016).
![]() |
Pemecahan kendi oleh Bupati Anas menjadi tanda dimulainya iring-iringan pawai. Anas menumpang dokar utama, diikuti tamu dan warga desa lain yang ada di urutan belakangnya.
Seluruh masyarakat Boyolangu tampak antusias mengiringi dokar-dokar di sepanjang jalan yang menjadi rute Puter Kayun dengan finish di pantai Watu Dodol. Ahmad, salah satu warga asli Boyolangu, menuturkan alasannya ikut iring-iringan ini karena sudah menjadi kebiasaan yang diajarkan orangtuanya sejak dia masih usia belia.
"Ini tradisi leluhur yang sangat menyenangkan. Bisa bareng-bareng tamasya dan selamatan bersama di pantai Watu Dodol dan ini harus kami ikuti sampai selesai ritual Puter Kayunnya. Nantinya kembali bersama-sama pula," katanya.
![]() |
Setelah rombongan sampai di Pantai Watu Dodol, mereka juga menggelar selamatan dengan makan bersama di sepanjang pantai sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang mereka dapatkan selama setahun terakhir.
Sebagian tokoh adat juga menaburkan bunga berbagai rupa ke laut untuk menghormati leluhur mereka yang meninggal saat pembuatan jalan. Melalui tradisi ini masyarakat Boyolangu menjalin silaturahmi sekaligus berlibur bersama sanak saudara.
Ketua adat Puter Kayun, Mohamad Ikrom, menjelaskan rute yang dilalui pawai delman ini merupakan jalan napak tilas leluhurnya Ki Buyut Jakso. Konon buyutnya ini adalah orang sakti yang dimintai bantuan untuk membuka akses jalan antara Situbondo-Panarukan yang terhalang gunung besar.
"Konon untuk membuka jalan di sebelah utara Belanda meminta bantuan pada Mas Alit (Bupati Banyuwangi I). Kemudian Mas Alit menugaskan Ki Buyut Jakso, karena di bagian utara ada gundukan gunung yang tidak bisa dibongkar," jelasnya.
Ki Jakso lalu bersemedi dan tinggal di Gunung Silangu yang sekarang jadi Boyolangu. Ikrom menjelaskan atas kesaktian Ki Jakso, akhirnya jalan tersebut bisa dibuka dan diberi nama Watu Dodol, yang artinya batu yang didodol (dibongkar).
Ikrom menambahkan Ki Buyut Jakso memberi pesan agar setiap tahunnya keturunannya berkunjung ke Pantai Watu Dodol. Hal itu dilakukan untuk mengenang napak tilas peristiwa yang dilakukan Ki Buyut Jakso pada waktu itu.
"Saat itu hampir semua masyarakat Boyolangu berprofesi sebagai kusir dokar, maka mereka mengendarai dokar. Hingga ada yang menyebut Puter Kayun ini sebagai lebarannya kusir dokar," ujarnya.
Sebelum pelaksanaan Puter Kayun, tradisi ini diawali dengan sejumlah ritual. Dimulai dari tradisi kupat sewu (seribu ketupat) yang digelar tiga hari sebelum puter kayun. Dalam kupat sewu ini, masyarakat Boyolangu membuat ketupat, lepet dan makanan lain sebagai pelengkap.
![]() |
Selain berbagi ketupat warga juga menggelar selamatan yang dilakukan di sepanjang jalan desa. Usai melaksanakan kupat sewu acara dilanjutkan dengan arak-arakan kesenian daerah mulai dari kebo-keboan, Kuntulan, Barong, ondel-ondel, gandrung, hadrah dan patrol.
Usai menggelar berbagai prosesi itu, warga kemudian berziarah ke makam Ki Buyut Jakso. Setelah itu baru dilangsungkan prosesi puncak dengan iring-iringan pawai dokar yang dikenal dengan tradisi Puter Kayun.
(ams/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini