Aksi penembakan terakhir terjadi pada Senin (9/5/2016) dinihari di kota Rosario yang berada di selatan ibu kota Manila. Kepala Inspektur satuan tugas kepolisian khusus pengawas kekerasan pemilu, Jonathan del Rosario, menyebut sekelompok pria bersenjata menembaki mobil Jeep dan dua sepeda motor yang berkonvoi.
Penembakan ini menewaskan tujuh orang dan melukai satu orang lainnya. Motif penembakan ini, menurut del Rosario, belum diketahui pasti. Namun, sebut del Rosario, insiden ini terjadi di Provinsi Cavite, yang oleh otoritas pemilihan umum setempat diidentifikasi sebagai 'zona mengkhawatirkan' karena maraknya pertikaian politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suasana pemilu Filipina |
Dalam catatan media, ada sekitar 145 kasus kekerasan terkait Pemilu sejak pemilu 2013. Laporan yang disampaian oleh Human Rights Watch menyebutkan, terjadi 298 pembunuhan antara Januari 2007 dan Maret 2013.
Penembakan biasanya terjadi di jalanan ramai, melibatkan dua orang menggunakan motor, melakukan eksekusi, lalu menghilang di tengah padatnya lalu lintas. Dari angka tersebut, kebanyakan pelaku lolos, kecuali mereka yang tertangkap tangan. Bagi yang ditangkap usai kejadian, proses hukumnya pun bisa mencapai enam bulan sampai 10 tahun.
'Rambo' Pembunuh Bayaran
Para pelaku pembunuhan politik di Filipina kebanyakan adalah pembunuh bayaran. Mereka melakukan tindakan keji di kala pemilu demi uang. Salah seorang pembunuh bayaran yang sempat diwawancarai oleh Channel News Asia mengaku mendapat bayaran US$ 450 sekali beraksi. Angka itu adalah bayaran untuk si pembunuh saja. Tarif resmi untuk sekali pembunuhan bisa jadi jauh lebih besar dari itu karena melibatkan banyak pihak.
"Kadang, setelah pembunuhan, butuh waktu beberapa tahun sebelum kami tahu siapa orang yang kami bunuh," kata pembunuh bayaran tersebut.
Si pembunuh mengaku memiliki bos seorang polisi. Sebelum beraksi, mereka selalu memantau keberadaan CCTV. Si pembunuh sudah melakukan aksinya sejak berumur 16 tahun. Targetnya sebagian besar berhubungan dengan politik dan pemilu.
"Awalnya, saya tidak bisa tidur berhari-hari. Tapi rekan saya membantu saya untuk mengatasi kegugupan saya," ceritanya.
![]() |
Pada tahun 2015 lalu, dua orang pria Amerika Serikat, Samia dan Stillwell, ditangkap di Filipina. Keduanya membawa kontrak untuk pembunuhan terhadap seorang wanita dengan bayaran US$ 35 ribu.
Penembakan itu terjadi pada tahun 2012. Korbannya seorang perempuan ditembak beberapa kali di bagian wajah, sebelum akhirnya dibuang di tempat pembuangan sampah.
Setelah diselidiki lebih jauh, kasus ini berhubungan dengan sebuah kelompok orang yang memiliki kemampuan militer, namun menjadi pembunuh bayaran. Pelatih mereka adalah seorang mantan sniper tentara AS yang kerap disebut 'Rambo'. Dia diduga merekrut mantan tentara di AS dan Eropa untuk melakukan pembunuhan di sejumlah negara.
Tagum Death Squad
Ada kelompok lain yang diduga berkaitan dengan pembunuh bayaran. Mereka bernama 'Tagum Death Squad'. Mereka memiliki motto 'One Shot to the Head' dan beroperasi di kota Tagum, Filipina. Cerita tentang mereka terangkum dalam sebuah laporan Human Rights Watch sebanyak 71 halaman berisi hasil wawancara terhadap tiga orang anggota pembunuh bayaran dan keterlibatan sejumlah tokoh penting dan aparat dalam lingkaran setan kejahatan di sana.
Sedikitnya ada 12 pembunuhan yang tercatat di sana. Kebanyakan dilakukan di jalanan dan siang hari. Para pembunuh menggunakan topi baseball dan kacamata hitam serta senjata kaliber .45. Mantan anggota Tagum Death Squad bercerita, mereka akan mengabari polisi setempat sebelum melakukan eksekusi dengan tujuan agar tidak melakukan intervensi.
Kelompok ini mendapat bayaran lebih murah. Salah seorang pembunuh mengaku hanya menadpat US$ 110 untuk satu nyawa yang dibunuh.
Tertangkap Kamera
Reynaldo Dagsa, seorang anggota dewan kota Manila, memotret keluarganya di luar rumah mereka pada Hari Tahun Baru 2011. Dalam kamera itu, terekam seorang pembunuh yang belakangan menembak Dagsa.
Sang pembunuh tampak di dalam foto mengenakan topi baseball dengan terbalik dan berdiri di belakang anak perempuan Dagsa, istri dan ibu mertuanya, yang tidak menyadari orang itu ada di belakang mereka.
![]() |
"Ketika dia sedang memotret keluarganya di Hari Tahun Baru, si pembunuh muncul dan dia secara tidak sengaja mengambil gambar si pembunuh sedang mengarahkan pistol ke arahnya," kata kepala polisi setempat Jude Santos kepada kantor berita AFP.
Foto yang diedarkan kepada media massa diedit sehingga keluarga Dagsa yang ada di dalam gambar itu tidak tampak, karena khawatir akan diburu sebagai balas dendam.
Halaman 2 dari 3












































Suasana pemilu Filipina
