Pengadaan bus itu dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Drajad Adhayksa yang menunjuk langsung Direktur Pusat Transportasi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prof Dr Ir Prawoto, M SAE sebagai pelaksana perencanaan.
Versi Prawoto, kerja sama BPPT dengan Dishub DKI Jakarta berdasarkan kontrak kerja dan terdapat nota kesepahaman yang mengikat. Menurut Prawoto, semua pekerjaan konsultasi yang dilakukan BPPT selayaknya konsultan pada umumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Atas kejanggalan itu, maka mau tidak mau, Prawoto juga didudukkan dalam kursi pesakitan. Pada 19 Agustus 2015, Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Prawoto selama 18 bulan penjara. Putusan ini diperberat oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menjadi 3 tahun penjara. Atas putusan ini, baik jaksa dan Prawoto sama-sama mengajukan kasasi.
Berkas Prawoto jatuh ke meja majelis Artidjo Alkostar- MS Lumme-Abdul Latif. Majelis ini dikenal layaknya 'algojo' bagi para terdakwa korupsi. Bagaimana hasilnya?
"Tidak menerima berkas kasasi terdakwa, mengabulkan berkas kasasi jaksa penuntut umum (JPU)," demikian lansir panitera MA yang dikutip detikcom, Jumat (15/4/2016).
Dalam putusannya, majelis memperberat hukuman Prawoto menjadi 8 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Prawoto juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 800 juta, yaitu sejumlah uang yang dikorupsinya. Apabila tidak membayar uang pengganti itu maka diganti 2 tahun penjara.
"Diputuskan pada 13 April 2016," ujar majelis dengan panitera pengganti Santhos Wahjoe Prijambodo.
Bagaimana dengan Udar? Dia terlebih dahulu dihukum 13 tahun penjara oleh Artidjo dkk. Selain itu, seluruh harta Udar juga dirampas negara. (asp/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini