"Bapak dan ibu panitera harus mempelajari dan memahami apa itu peraturan MA (Perma), Surat Edaran MA (SEMA), fatwa, Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA), dan berbagai aturan internal maupun eksternal MA. Bisa juga yurisprudensi," kata Ketua MA Hatta Ali.
Hal itu disampaikan dalam pembinaan di Makassar awal pekan ini sebagaimana dikutip dari website MA, Rabu (20/1/2016). Hadir dalam pembinaan tersebut Ketua Pengadilan, Wakil Ketua Pengadilan, hakim, dan panitera pada 4 lingkungan peradilan wilayah Sulawesi Selatan dan Barat. Dari MA ikut memberikan pembinaan yaitu Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Ketua Kamar Agama, Ketua Kamar Pidana, Ketua Kamar Tata Usaha Negara, dan Panitera MA.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau semua sesuai prosedur publik akan puas terhadap kinerja pengadilan. Saya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bapak dan ibu untuk berdiskusi menyelesaikan kendala-kendala yang ditemui dalam penegakan hukum di wilayah ini," tandas Ketua MA periode 2012-2017.
Selain menguasai aturan dalam melaksanakan tugas diperlukan juga pendekatan dan kerjasama dengan instansi penegak hukum lainnya, apalagi terkait eksekusi.
"Libatkan kepolisian dalam hal ini," kata Hatta Ali berpesan.
Ke depannya pimpinan MA berharap dalam melaksanakan putusan, pengadilan harus lebih mampu berkoordinasi dengan berbagai pihak sehingga publik benar-benar merasakan kinerja penegak hukum yang berpihak pada keadilan.
Sebagaimana diketahui, aturan di MA seringkali berubah dengan cepat dan rumit. Seperti di kasus status advokat, berdasarkan Surat Keputusan Ketua MA No 089 Tahun 2010, MA hanya mengakui Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal advokat. Tapi tidak berapa lama muncul Surat Keputusan Ketua MA 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang membolehkan calon advokat dari organisasi mana pun untuk dilantik.
Di Peraturan MA, muncul Perma Nomor 4 Tahun 2015 pada Agustus 2015 pascakasus tertangkapnya Ketua PTUN Medan Tripeni oleh KPK. Dalam aturan ini, status tersangka tidak bisa diadili PTUN jika sudah memasuki projustitia.
Pada awal Januari 2015, MA juga mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang menegaskan Peninjauan Kembali (PK) hanya sekali. SEMA ini berseberangan dengan putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013. Belum lagi SEMA/Perma yang telah berusia puluhan tahun dan masih berlaku. Seperti SEMA Nomor 14 Tahun 1983 yang menyatakan penahanan terdakwa oleh hakim tidak bisa digugat praperadilan. Belum lagi soal SEMA dan Perma di bidang perdata dan agama. (asp/kha)