Dalam salinan putusan yang diperoleh dari website Mahkamah Agung (MA), Jumat (15/1/2016), Bahrun merupakan terpidana karena terbukti menyimpan amunisi peluru tanpa izin.
Kasus ini bermula pada 7 November 2010, saat itu petugas kepolisian mendengar kabar adanya seorang warga yang diduga terlibat jaringan teroris menyimpan amunisi dengan jumlah banyak tanpa izin. Pada 9 November polisi membuntuti pelaku dan menangkapnya. Saat dimintai keterangan, Bahrun mengakui dirinya menyimpan amunisi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini pun bergulir ke PN Surakarta pada Februari 2011, jaksa mendakwa Bahrun melanggar pasal 1 ayat 1 UU Darurat. Saat penuntutan jaksa menuntut Bahrun dengan penjara 5 tahun penjara karena perbuatannya tergolong berat yaitu menyimpan amunisi dalam jumlah banyak. Jaksa juga menganggap tindakan berupa bentuk perlawanan karena peluru yang ditemukan memiliki simbol perjuangan militan.
Tetapi tuntutan jaksa itu tidak dapat meyakinkan majelis hakim. Alhasil, hakim hanya terbukti menyimpan amunisi tanpa izin dari seseorang bernama Ipung.
"Menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun 6 bulan penjara," putus ketua majelis Bintoro Widodo dalam putusan bernomor register 7/Pid.Sus/2011/PN.Ska.
Kini nama Bahrun Naim kembali muncul setelah peristiwa horor ledakan bom di Menara Cakrawala dan pos polisi di Jalan MH Thamrin. Bahrun disebut-sebut sebagai otak teror yang menewaskan 7 orang dan menyebabkan puluhan korban luka.
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini