Berikut beberapa poin hasil investigasi KNKT seperti dirilis website Kementerian Perhubungan, Selasa (1/12/2015):
1. Pesawat dinyatakan layak terbang sebelum terjadinya kecelakaan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
3. Dalam penerbangan ini, kopilot bertugas menerbangkan pesawat (Pilot in Command/PIC) dan pilot bertugas memonitoring jalannya penerbangan (Pilot Monitoring/PM).
4. Pesawat berangkat dari Surabaya pada 2235 (Universal Time Coordinate/UTC) dan melaju di tingkat penerbangan 320 dengan tujuan Singapura melalui saluran udara M635.
5. Cuaca pada rute M635 sebagian tertutup oleh awan Cumulonimbus yang terbentuk di ketinggian 12 ribu kaki hingga 44 ribu kaki. Data FDR menunjukkan bahwa kondisi cuaca tidak mempengaruhi jalannya penerbangan dan investigasi menyimpulkan bahwa kondisi cuaca bukanlah faktor penyebab kecelakaan.
6. Ketika pesawat itu meluncur, ada 3 tanda peringatan yang terhubung dengan Rudder Travel Limiter Units (LRTU) dan Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM) yang memunculkan pesan 'AUTO FLT RUD TRV LIM SYS' antara 2301 dan 2313:41. Pesan ini direspons pilot sehingga sistem kembali berfungsi secara normal.
7. Pada 2315:16 UTC tanda peringatan keempat menyebabkan ECAM kembali memunculkan pesan bertuliskan 'AUTO FLT RUD TRV LIM SYS', alat perekam tidak mendeteksi adanya aktivitas ECAM.
8. Pada 2316 UTC, radar pengendali di Jakarta mengeluarkan izin kepada pilot untuk naik ke (Flight Level/FL) 340, namun tidak mendapat respon.
9. Pada 2316:27 UTC tanda peringatan kelima muncul di layar monitor, yaitu terjadi kesalahan pada Flight Augmentation Computer/FAC 1 (yang mengontrol sistem kendali pesawat), yang diikuti dengan tanda perubahan parameter di data penerbangan (Flight Data Recorder/FDR) yang dikendalikan oleh FAC 1 seperti RLTU 1, deteksi arah perubahan angin (Windshear) dan Rudder Travel Limiter Actuator/RLTA. Dua belas detik kemudian, parameter di FAC 1 kembali ke posisi ON dan semua fluktuasi parameter berhenti.
10. Pada 2316:44 UTC, tanda peringatan keenam kembali muncul, dipicu oleh AUTO FLT FAC 1+2 FAULT (kerusakan pada FAC 1 dan 2) Ini adalah gangguan listrik pada 2 komputer pesawat yang mengatur salah satunya sistem kendali pesawat atau rudder yang rusak ini. Rudder bergerak sebanyak 2 derajat per detik.
11. Kerusakan yang terjadi pada FAC ini berkaitan dengan pemutusan hubungan listrik yang menyebabkan pemutus sirkuit (Circuit Breaker/CB) FAC kembali ke posisi semula (reset).
12. Pada posisi 2316:54 UTC, parameter FAC 2 kembali ke posisi ON. Kemudian auto pilot (A/P) dan auto thrust (A/THR) tidak aktif. Sistem kendali fly by wire pesawat berganti dari normal law ke alternate law di mana beberapa proteksi tidak aktif.
13. Tombol tekan pada panel atas FAC tidak me-reset ke OFF ON yang mengakibatkan FAC tidak berfungsi.
14. Rudder kemudian dibelokkan 2 derajat per detik yang mengakibatkan pesawat berguling ke kiri sebanyak 6 derajat per detik. Tanpa respon dari pilot, pesawat kembali berguling (roll) 54 derajat per detik.
15. Terlambatnya respon dari SIC kemungkinan disebabkan perhatian yang tak tertuju pada Primary Flight Display/PFD, yang terletak pada main panel tepat pada arah pandang pilot/kopilot.
16. Second In Command (SIC) diduga terkejut saat menyadari aktivitas tak biasa dari pesawat tersebut. Hal tersebut terindikasi dari rekaman Black Box yang memperlihatkan ekspresi SIC.
17. Setelah sisi-stick atau kontroler sidestick bagian kanan aktif, pesawat berguling 9 derajat ke sebelah kiri. Gerakan ini menyebabkan sensasi berguling yang berlebihan ke arah kanan. SIC kemungkinan mengalami disorientasi spasial yang langsung diperbaiki dengan melakukan pergeseran sisi kontroler bagian kiri yang menyebabkan pesawat kembali terguling ke arah kiri hingga 50 derajat.
18. Tindakan SIC ini menyebabkan pesawat melampaui sudut normal untuk kembali ke ketinggian pesawat semula (32 ribu kaki), sementara petunjuk dari Flight Director masih tersedia.
19. Dalam rekaman FDR pada 2317:15 UTC, SIC melakukan pitch up (gerakan menaikkan hidung pesawat) hingga 24 derajat. PIC menginstruksikan SIC untuk 'pull down..pull down (turunkan)'. Namun dalam rekaman FDR terlihat sisi kanan kontroler bergerak mundur yang mengakibatkan sudut antara sayap pesawat dan aliran udara yang melewati pesawat (Angle of Attack/AOA) meningkat secara maksimal hingga mencapai 48 derajat. Standard Call Out yang seharusnya disebut dalam SOP adalah 'PITCH, PITCH' jika mencapai pitch up 10 derajat. Namun tak terdengar Standard Call Out saat pesawat menukik ke atas.
20. Sikap SIC dan perintah dari PIC yang ambigu kemungkinan meningkatkan kewaspadaan SIC sehingga dia tak bereaksi cepat dalam kondisi darurat yang menyebabkan pesawat kehilangan kendali.
21. Pada 2317: 17 UTC, Stall Warning System atau sistem peringatan ketika terjadi keadaan dimana kecepatan pesawat menjadi sangat tinggi atau rendah, diaktifkan. Pada 2317:22 UTC berhenti selama 1 detik dan berlanjut hingga akhir rekaman
22. Dari 2317: 29 UTC kontroler milik PIC mulai berfungsi dengan perintah menurunkan hidung pesawat (nose down pitch command) dan lebih banyak berada di posisi netral, sementara kontroler SIC lebih banyak berada di level maksimum (maximum pitch up) hingga akhir rekaman.
23. Pada 2317:41 UTC, pesawat berada di ketinggian 38.500 kaki dan berguling ke sisi kiri hingga 104 derajat. Pesawat kemudian kehilangan kendali sehingga pesawat terus menukik hingga 20 ribu kaki per menit.
24. Pada 2318 UTC pesawat menghilang dari layar radar kontroler di koordinat 3.36'48.36"S - 109.41'50.47"E
25. Dari data yang terekam oleh FDR terlihat pesawat berada di 2320:35 UTC dengan kecepatan 83 knots, hidung pesawat naik hingga 20 derajat, AOA 50 derajat, berguling 8 derajat ke arah kiri dengan tingkat penurunan 8400 kaki per menit dengan ketinggian radio mencapai 187 kaki.
26. Setelah sistem autopilot terlepas, tak terdengar komunikasi antara pilot dengan Air Traffic Controller (ATC) hingga akhir rekaman
27. Paramater rekaman FDR sama dengan rekaman pada 25 Desember 2014 dimana pesawat memiliki masalah di bagian RLTU saat berada di darat dan CB mengalami reset
28. Pengalaman PIC yang pernah menangani peristiwa serupa dengan cara me-reset CB FAC pada 25 Desember 2014 membuatnya melakukan prosedur yang serupa dalam penerbangan ini
29. FAC 1 CB berada di panel atas, sementara FAC 2 CB berada di bagian kanan belakang kursi pilot. Untuk menarik atau mendorong FAC 2 CB, pilot harus meninggalkan kursinya
30. Observasi dari Airbus A320 QRH dalam bab 'Computer Reset', menyebutkan 'In flight, as a general rule, the crew must restrict computer resets to those listed in the table. Before taking any action on other computers, the flight crewΒ mustΒ consider andΒ fully understandΒ the consequences'. Pernyataan ini berpotensi ambigu untuk pembaca sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan interpretasi
31. Sebelum keputusan untuk me-reset FAC CB, CVR merekam adanya diskusi yang tak dapat dipahami
32. Awak pesawat belum menerima pelatihan operator untuk memulihkan kondisi Airbus A320, karena sesuai Flight Crew Training Manual (FCTM), hal tersebut tak diperlukan.
33. Stall warning diciptakan untuk mengatur AOA pada 8 derajat. Stall sendiri adalah kondisi aerodinamik dimana coefficient lift mulai berkurang yang disebabkan karena Angle of Attack/AOA meningkat dan melampaui batas critical point. Critical Point AOA ini pada umumnya 15-16 derajat, dan juga bergantung pada fluid, foil dan reynold number.
34. Pilot telah terlatih dan berpengalaman menjalankan Stall.
35. Kondisi Stall diklasifikasikan sebagai kondisi darurat yang memungkinkan PIC unntuk mengambil alih kendali. Namun rekaman CVR tidak menunjukkan adanya perintah dari PIC untuk mengambil alih kontrol penerbangan. Standar call out untuk mengambil alih kontrol pesawat dijelaskan dalam Standard Operating Procedure (SOP) adalah 'I HAVE CONTROL', dan dijawab oleh pilot kedua yang memberi izin untuk mengontrol, dengan mengatakan 'YOU HAVE CONTROL', atau dengan mengaktifkan priority button selama 40 detik
36. Pelatihan untuk menangani peristiwa yang terjadi tidak diimplementasikan pada pada Airbus A320 seperti yang dijelaskan di dalam manual untuk kru penerbangan.
37. FCTM menyebut bahwa efektivitas fly by wire dan adanya aturan kontrol menyebabkan hilangnya kebutuhan untuk melakukan manuver saat kondisi kritis pada Airbus.
38. Sejak 2317:29 UTC, kontroler di bagian kanan dan kiri aktif hingga rekaman usai. Namun input dari kedua kontroler tersebut berbeda.
39. Tak ada reaksi dari kru penerbangan untuk mengatasi atau mengulang tanda peringatan untuk mengurangi gangguan
40. International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 6 menyebut bahwa kewajiban PIC adalah melaporkan semua hal yang terjadi usai penerbangan. Persyaratan ini belum disertakan pada Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Indonesia (Indonesia Civil Safety Regulation/CASR)
Analisa di Segi Pemeliharaan:
41. Rekaman pemeliharaan menunjukkan ada 23 masalah di Rudder Travel Limiter (RLTU) dari bulan Januari 2014 hingga 27 Desember 2014
42. Laporan pemeliharaan menyebut 4 orang pilot menemukan masalah di RLTU
43. Pada 19 Desember 2014 masalah RLTU yang terjadi berulang kali dimasukkan ke dalam MR2. Setelah menyelesaikan jadwal oenerbangan, personel pemeliharaan melakukan Auto Flight System (AFS) dan MT2 dianggap tertutup
44. Pada 21 dan 27 Desember 2014 MR1 merekam 2 orang pilot melapor pada 25 Desember 2014 dan 27 Desember 2014 yang berhubungan dengan masalag RLTU. FDR sendiri merekam setidaknya ada 9 masalah.
45. Operator manajemen pemeliharaan menggunakan Automatic Meteorological Abbreviation System/AMOS untuk mengelola perawatan. Data harus diupload oleh semua personel pemeliharaan. Informasi yang dikumpulkanΒ berasal dari MR1, seperti pemeliharaan kabin dan jadwal inspeksi
46. Analisis data pemeliharaan yang ada mengarah pada kesalahan berulang yang belum terselesaikan yang terjadi dengan interval waktu yang lebih pendek
47. Evaluasi data pemeliharaan menunjukkan bahwa proses pemeliharaan tersebut diikuti dengan masalah di RLTU yang kebanyakan disebabkan karena me-reset komputer atau mereset tombol dorong FAC dan diikuti dengan. Pemeriksaan RLTU menunjukkan adanya retakan solder pada panel A dan B. Retakan tersebut dapat menyebabkan hilangnya daya listrik yang tersambung ke RLTU.
48.Kebijakan perusahaan menyebut bahwa personel pemeliharaan akan masuk ke MR1 setelah perbaikan berdasarkan laporan percontohan sementara. Pedoman penanganan masalah di Airbus (Airbus Troubleshooting Problem) menyatakan bahwa PFR merupakan sumber utama informasi yang digunakan untuk memulai tindakan perawatan.
49. Dalam CMM pada bab 5.3 tentang kerusakan dan kerusakan yang berulang mencatat bahwa kerusakan berulang harus ditangani secara serius apabila telah dilaporkan lebih dari sekali dalam 7 penerbangan, atau 3 hari dimana 3 upaya perbaikan belum ditangani secara tuntas
50. Kebijakan perusahaan tidak secara jelas menerapkan aturan untuk merekam PFR. Hal ini mengakibatkan pusat pemeliharaan tidak waspada akan terjadinya masalah yang sama. Pusat pemeliharaan kemungkinan mengulang cara yang sama. Tak satu pun dari masalah yang telah terjadi dilaporkan bahkan teridentifikasi memenuhi persyaratan masalah yang berulang, sehingga memicu tindakan perawatan di bawah standar CMMS (Computerized Maintenance Management Systems).
51. Data rekaman perbaikan dan analisa tak dapat menjelaskan kesalahan yang terjadi secara berulang serta menganalisa konsekuensinya
Penemuan Lainnya:
52. Proses audit DGCA tidak mengidentifikasi apakah operator tidak melakukan pelatihan perbaikan darurat. Hasil audit juga tidak mengidentifikasi proses pemeliharaan yang tak memadai terkait kesalahan yang terjadi berulang kali
53. CASR tidak mengatur persyaratan pada PIC untuk melaporkan hal hal yang mencurigakan selama penerbangan, seperti diatur di dalam ICAO Annex 6
Sumber: Ini Hasil Lengkap Identifikasi QZ8501 oleh KNKT
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini