Diskusi yang berlangsung hampir 4 jam itu membincangkan tentang sejarah, peran dan fungsi TNI di Indonesia sejak era Jenderal Sudirman hingga saat ini dijabat Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Salah satu titik sejarah yang banyak dibahas adalah reformasi 1998.
"Sebagai Panglima waktu itu saya termasuk tidak beruntung, tapi juga beruntung. Tidak beruntung jadi Panglima saat negara rusuh. Karena sebelumnya saya lihat jadi Panglima itu enak enggak ada yang ganggu," kata Jenderal TNI (Purn) Wiranto dalam acara yang digelar di kantor CSIS Jl Tanah Abang 3, Jakarta Pusat, Senin (28/9/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tak beruntung seminggu akan dilantik saya hadapi masalah penculikan. Dua bulan kemudian masalah krisis luar biasa yang kalau salah langkah saya tidak tahu sejarah negeri ini," imbuhnya dalam pembawaan yang santai itu.
Wiranto mengatakan, dia bersyukur saat terjadi kerusuhan tahun 1998 yang menjadi momentum reformasi karena tumbangnya orde baru itu dikelilingi oleh perwira TNI yang punya pemikiran luar biasa.
Saat itu kata Wiranto, TNI tak memanfaatkan kondisi chaos untuk merebut kekuasaan tapi justru melakukan proses yang dalam bahas buku yang dibedah disebut 'transformasi' atau menurut Wiranto dan beberapa jenderal 'reformasi' di tubuh TNI.
"Loncatan perubahan perlu satu pemikiran yang out of the box atau pemikiran yang 'usil'. Kalau nggak usil kita status quo," ucap ketua umum Hanura itu.
Wiranto menambahkan, reformasi merupakan keniscayaan, tapi jangan revolusi. Tapi reformasi yang konseptual dan direncanakan dengan baik. "Karena itu saya sampaikan kepada para perwira yang pemikirannya agresif tadi, kalau negeri akan mereformasi dirinya, maka kita sebagai bayangan negara yang mengawal negeri ini harus mereformasi diri," ujar Wiranto.
"Bagaimana mungkin yang kita kawal reformasi, yang mengawal tak mereformasi dirinya. Salah besar," imbuhnya.
Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi yang pada tahun 98 sebagai Kasum TNI ikut bicara dan menyoroti soal tuntutan penghapusan Dwi fungsi ABRI saat momentum 98 itu. Menurutnya, memang ada yang salah jika TNI memegang kekuasaan.
"Dalam hati, kita katakan ada yang salah dengan TNI sehingga perlu direformasi. Dan 98 momentum yang tepat melakukan itu," ucapnya.
"Dulu saya diskusi. Pak Fachrul, kalau TNI ikut politik ya boleh-boleh saja, tapi kalau mau politik bawa senjata pakai sepatu (ABRI) ya janganlah. Ide itu (penghapusan Dwi fungsi ABRI/netralitas TNI -red) sudah sangat tajam," imbuhnya.
Peneliti LIPI Ikrar Nusa Bakti juga angkat bicara dan mengatakan bahwa TNI punya peran positif dalam reformasi tahun 1998. Baik dalam konteks TNI mereformasi dirinya maupun reformasi negara Indonesia pasca Orde Baru.
"Dulu saya katakan, Pak Facrul, beranikah bapak katakan TNI memegang peranan penting dalam peristiwa 98. 'Waduh masih berat'. Tapi TNI saat itu masuk pada saat yang tepat, 98 Tidak bisa lepas dari peranan positif TNI," ujar Ikrar.
"Kami alumni UI, ITB datang ke rumah beliau bagaimana perubahan pemerintah berjalan damai. Saya waktu itu minta Pak Wiranto menarik kopassus dari UI dan itu dilakukan oleh Pak Wiranto, dan Pak Wiranto yang memerintahkan TNI membuka gerbang DPR pada 18 Mei," paparnya.
Kemudian CEO Polmark Indonesia Eep Saefulloh berkomentar sama dengan Ikrar Nusa Bakti. Eep yang mantan Senat UI saat itu menyebut TNI saat 98 mengambil langkah yang tepat untuk tidak memanfaatkan kerusuhan demi keuntungan TNI.
"Bayangkan saat itu kalau TNI merespon yang tak seharusnya. Bayangkan kalau Wiranto mengambil kesempatan karena pada waktu itu tidak ada partai yang punya basis dan struktur yang memadai, tiba-tiba tentara harus jadi partai dan terlibat dengan cara yang berbeda. Maka sejarah Indonesia akan berbeda," ucap Eep.
"Jadi sebagai warga negara saya selalu berhutang pada sikap tentara saat itu, karena respon saat itu bukan satu-satunya, tapi itu yang diambil," lanjutnya.
Kemudian berbicara di sesi akhir, SBY menilai bahwa reformasi di tubuh TNI adalah proses yang panjang sejak era Sudirman hingga saat ini, termasuk harus melewati peristiwa 98 yang menjadi momentum penghapusan Dwi fungsi ABRI.
Namun menurut buku yang dibacanya, proses reformasi itu tidak bisa dilekatkan karena peran seseorang tapi keadaan negara secara keseluruhan. Bahkan untuk merekam proses itu, SBY meminta Djoko Santoso menuliskan buku tentang sejarah reformasi TNI karena tokoh-tokohnya masih ada.
"Saya minta Pak Djoko. 'Djok, mumpung pelaku sejarah masih ada, datangi Wiranto dan lainnya. Bagaimana dulu, the what, the why, the how reformasi terjadi sehingga tidak bisa diputarbalikkan karena pelakunya ada, dokumennya juga ada," ucap SBY.
"Anhar Gongong (sejarahwan-red) pasti setuju. Tuhan saja tidak bisa ubah masa lalu, tapi sejarahwan yang tidak jujur dan akurat bisa mengubah sejarah itu," imbuhnya sambi melihat Anhar yang hadir di forum.
Menutup paparannya, SBY menyampaikan pesan kepada TNI yang sudah dia tuangkan dalam buku yang disebutnya tadi, yaitu soal netralitas TNI.
"Kepada jenderal, laksamana, tidak boleh tergoda dan memasuki wilayah politik kekuasaan. Kaum politisi jangan pula menggoda, menarik-narik perwira polisi dan TNI masuk ke wilayah politik praktis sehingga akhirnya mengingkari sumpah dan ikrar profesionalismenya kepada negara," kata SBY.
"Tak mungkin kita memutar kembaliย jarum jam. Jangan mempermainkan Tuhan. Tidak usah khawatir teman-teman, transformasi akan terus berjalan. Mari kita saling mengingatkan agar tidak ada godaan dari kedua belah pihak," tegas SBY. (miq/hri)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini