Inkonsistensi MK, Izin Presiden Periksa Pejabat Negara Dihidupkan Lagi

Inkonsistensi MK, Izin Presiden Periksa Pejabat Negara Dihidupkan Lagi

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 23 Sep 2015 09:44 WIB
Jakarta - Tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus izin presiden bagi penyidik yang akan memeriksa pejabat negara yaitu kepala daerah. Kini, MK mengharuskan penyidik meminta izin tersebut apabila ingin memeriksa anggota DPR, MPR dan DPD.

Adapun pemeriksaan anggota DPRD harus seizin Mendagri.

"Dari aspek subtansi putusan MK ini juga mengandung kelemahan yaitu MK tidak menjelaskan secara lengkap mengapa MK memiliki pendirian yang berbeda dengan putusan pada tahun 2012," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Rabu (23/9/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Meskipun objek lembaganya berbeda, namun secara filosofi pokok permohonannya adalah sama yaitu apakah diperlukan izin dari Presiden terhadap pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi pejabat negara," sambung Bayu.

Di mana pada tahun 2012, MK menyatakan bahwa izin tertulis untuk pemeriksaan kepala daerah tidak memiliki rasionalitas hukum dan bertentangan dengan asas judicial independent, equality before the law dan non diskriminasi.

"Namun disayangkan berbedanya putusan MK saat ini dengan MK di tahun 2012 tidak dapat menunjukkan alasan konstitusional yang berbeda sebagaimana diatur oleh UU MK," ujar pengajar Universitas Jember itu.Β 

Belajar dari putusan MK ini, kata Bayu, seluruh lembaga negara dan publik perlu melakukan konsensus kembali yaitu apakah pemeriksaan terhadap pejabat negara memang memerlukan izin presiden atau tidak. Mengingat selain UU MD3 masih banyak UU yang mengatur mengenai syarat izin tertulis tersebut yaitu UU MK, UU MA, UU BPK dan sebaginya. Keberadaan beberapa UU tersebut menunjukkan bahwa politik legislasi kita terutama para pembentuk UU masih menghendaki adanya perlindungan hukum kepada pejabat negara dengan model izin ketika diperiksa atau dimintai keterangan oleh penyidik, sementara publik di satu sisi menginginkan adanya kesetaraan semua warga negara dalam menghadapi proses hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

"Hal inilah yang memerlukan kesepakatan bersama antara pembentuk UU dan publik sebagai pemegang kedaulatan," pungkasnya.

Apakah MK sudah amnesia dengan putusan-putusan sebelumnya? (asp/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads