Adalah Alimu Abdurrahman, Wakil Presiden Xinjiang Islamic Institute, yang menatap minat keagamaan generasi muda Xinjiang. Dia menilai, kaum muda di wilayah Tiongkok yang 'mepet' Asia Tengah ini tak lagi terlalu tertarik soal agama.
"Dari sudut pandang saya soal nilai-nilai Islam, generasi muda di Xinjiang agaknya telah berubah," kata Alimu saat berbincang dengan wartawan Indonesia dan Malaysia di Xinjiang Islamic Institute, Urumqi, Xinjiang Uyghur Autonomous Region, Tiongkok, Minggu (2/8/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya pikir semakin sedikit saja anak muda yang berkeinginan untuk belajar agama," ucapnya.
Dia berharap agar ke depan kaum muda bisa belajar segala hal termasuk Islam, juga bisa mencukupi kebutuhannya demi kehidupan yang lebih baik. Menurut Islam, semua orang haruslah terus menuntut ilmu.
Xinjiang Islamic Institute berdiri sejak 1983 dibawah izin pemerintah setempat dan beroperasi pada 1987. Ribuan lulusan sudah dihasilkan. Siswa di sini berumur dari 18 hingga 22 tahun, semuanya laki-laki karena memang begitulah adat Uyghur. Mereka bisa belajar hingga meraih gelar sarjana (bachelor).
"Target kami adalah mendidik generasi muda," kata Alimu.
Saat ini, institut ini memiliki 280 siswa. Institut ini melangsungkan pembelajaran menggunakan bahasa Uyghur, bahasa etnis terbesar di wilayah ini.
Untuk belajar di institut ini, pemerintah telah menerapkan kebijakan agar siswa tak perlu membayar apapun. Namun, menurut Alimu, siswa yang belajar secara gratis malah cenderung tak bersungguh hati menempuh pendidikan. Akhirnya institut menerapkan kebijakan pembayaran sebesar 2.500 Yuan untuk biaya makan siswa sendiri.
Siswa diajari dua kategori pendidikan, yakni 30 persen materi kebudayaan dan 70 persen materi agama. Materi kebudayaan meliputi kebijakan pemerintah RRT, komputer, geografi, sejarah, Bahasa Uyghur dan Bahasa Tiongkok. Materi agama meliputi pelajaran Bahasa Arab, Alquran dan Hadits, hingga kebudayaan Islam.
"Sarjana setelah lima tahun belajar, mereka akan kembali ke kampung halamannya. Mereka akan menjadi imam dan khatib di 'prefecture' dan 'county' masing-masing," kata Alimu.
Institut juga menawarkan beasiswa dan pelanjutan belajar ke negara lain seperti Al Azhar Mesir. Metode pembelajaran di sini diajarkan seturut situasi aktual Xinjiang. Buku-buku pembelajaran yang digunakan adalah yang diakui oleh pemerintah. Dan mereka berkomitmen melawan terorisme.
"Melawan ekstrimisme dan terorisme. Islam mendukung perdamaian," tegasnya.
Sekitar 24 ribu imam dan khatib telah tersebar ke berbagai 'prefecture' dan 'county'. Mereka digaji oleh pemerintah. Untuk pengajar Agama Islam dan staf, mereka digaji dari 5 ribu Yuan hingga 15 ribu Yuan. Imam dan khatib digaji sekitar 2 ribu Yuan. Khusus untuk imam dan khatib, mereka juga biasa diberi sumbangan oleh masyarakat setempat.
Saat rombongan Indonesia berkunjung, kampus nampak sepi karena memang saat ini sedang masa libur musim panas. Melongok ke ruang kelas, meja-meja dan papan tulis berjejer, ada juga layar LCD yang mendukung pembelajaran. Tersedia pula masjid milik Institut yang cukup menampung ratusan jamaah.
Namun rencananya, di masa mendatang kampus mereka akan beralih ke daerah Development Zone dengan ukuran yang lebih luas. Pemerintah Tiongkok bakal mengucurkan dana 250 juta Yuan untuk membangun kampus baru itu.
"Di penghujung tahun depan, kami akan pindah ke kampus baru. Namun kampus ini akan tetap dipakai untuk mengajar imam dan khatib untuk tingkat 'county' serta untuk pascasarjana," kata Alimu.
Bisa dibilang, Xinjiang Islamic Institute memang memberi perhatian kepada pendidikan Islam khususnya kaum muda. Anak muda yang lulus dari sini bakal menjadi ujung tombak penjaga pranata Islam.
Sedikit menjelaskan soal Islam di mata kaum muda Xinjiang, seorang Muslim muda usia sempat berbincang soal hal ini dalam bus yang melaju di kawasan wisata Danau Surgawi (Heavenly Lake), Xinjiang, pada Senin (3/8).
Anak muda itu adalah Rahim, pria muslim 27 tahun peranakan etnis Muslim Hui dan Uzbek, dua etnis yang juga disebut sebagai penghuni wilayah Xinjiang sejak dahulu kala. Rahim menjelaskan bahwa generasi Muslim muda Xinjiang tak terlalu ribut soal agama.
"Kebanyakan kita beragama secara masing-masing. Di antara mereka juga tak selalu salat lima waktu, mereka bisa puasa dan juga tidak puasa saat Ramadan. Misalnya mereka juga puasa, tapi tetap membuka restoran di siang hari saat Ramadan," kata Rahim.
Melihat-lihat anak muda yang berseliweran di jalanan Urumqi, kadang sulit dibedakan identitas keagamaan dari masing-masing orang. Namun tetap, sebagian dari mereka mengenakan menunjukkan identitasnya misalnya lewat pengenaan kerudung pada perempuan.
"Sebagian mereka juga minum bir, perempuannya bahkan berkaos pendek dan memakai rok setinggi ini (menunjuk paha). Tapi mereka menyebut dirinya Islam juga," kata Rahim.
Agama merupakan urusan pribadi masing-masing. Sebenarnya bukan hanya generasi muda, namun generasi tua disebut Rahim juga tak selalu taat beragama.
Negara, menurut Rahim, tak membatasi kehidupan beragama Islam di Xinjiang. Dia membantah ada larangan berpuasa Ramadan yang diterapkan pemerintah di daerah ini.
"Kabar bahwa Muslim di Xinjiang dilarang berpuasa itu seperti lelucon. Di sini orang berpuasa dan tidak berpuasa seturut pribadinya masing-masing," ujarnya sambil tersenyum.
Soal aktivitas keagamaan berupa pendirian tempat ibadah, pemerintah menerapkan syarat harus ada setidaknya 300 hingga 400 orang penganut agama untuk mendirikan tempat ibadah masjid. Ini dijelaskan oleh Alimu Abdurrahman.
Ada 24.200 masjid di Xinjiang. Mayoritas mereka adalah Muslim Sunni yang merujuk pada ajaran Imam Hanafi.
(dnu/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini