Kisah Penemuan Observatorium 'Pembongkar' Rahasia Langit di Uzbekistan

Kisah Penemuan Observatorium 'Pembongkar' Rahasia Langit di Uzbekistan

Erwin Dariyanto - detikNews
Selasa, 16 Jun 2015 14:14 WIB
Observatorium Ulugh Beg saat pertama kali ditemukan oleh arkeolog tahun 1908. (Foto Repro - Erwin/detikcom)
Jakarta - Suatu siang yang tak begitu panas tahun 1908, di bawah reruntuhan kota kuno Afrasiyab, Samarkand, Uzbekistan, Vladimir Viyatkin duduk sambil beristirahat. Di tengah istirahat itulah tatapan mata pria yang juga arkeolog asal Rusia itu tertegun melihat bentuk sebuah bangunan aneh yang menjulang di hadapannya.

Viyatkin kemudian menelusuri dan menggali beberapa bagian bangunan yang tertimbun reruntuhan. Selesai digali dia pun mengenali bahwa bangunan itu merupakan sebuah sekstan atau kuadran berukuran raksasa. Sekstan adalah suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur sudut antara dua benda.

Arkeolog Rusia itu akhirnya menyimpulkan bahwa bangunan yang dia temukan adalah sebuah observatorium peninggalan abad ke-14. Jejak observatorium yang dibangun seorang astronom Islam, Muhammad Taragai Ulugh Beg itu masih bisa dilihat sampai sekarang. (baca juga: Melihat Astronom Islam Abad 14 'Membongkar' Rahasia Langit).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bangunannya berupa sebuah terowongan batu yang cukup lebar dan panjang dengan ratusan anak tangga. Pangkal dari terowongan tersebut berada di bawah tanah dan berujung pada alam terbuka beratapkan langit. Di dalamnya dilengkapi dengan dua jeruji batu yang ditempatkan pada posisi tepat sehingga memberi hasil yang maksimal dalam menghitung ketinggian jarak bintang-bintang yang diamati secara cermat.

Di antara atap terowongan itu dibuat satu lubang untuk memungkinkan masuknya sinar matahari. Titik sinar matahari yang jatuh di anak tangga itulah yang digunakan oleh Ulugh Beg untuk menentukan waktu salat dan awal tahun.

Posisi bangunan Observatorium Ulugh Beg berada di ketinggian. Sejumlah sumber yang ditemui detikcom di lokasi tak bisa secara pasti menyebut posisi ketinggian tempat Observatorium berdiri.

Namun dari area Observatorium itu pandangan mata tidak terhalang saat melihat hilal dan juga landscape Kota Samarkand.

"Di sini posisi paling tinggi, pandangan tidak terhalang saat melihat bulan," kata sejarawan peradaban Islam dari Universitas Sultan Agung Semarang La Ode Kamaluddin saat bersama detikcom mengunjungi Observatorium Ulugh Beg, Jumat (22/5/2015) lalu.

Dari obsevatorium itulah Ulugh Beg dan murid-muridnya melakukan pengamatan terhadap munculnya hilal untuk menentukan awal Ramadan. Tak hanya melihat hilal, pengamatan juga dilakukan untuk membuat rumus penghitungan matematika, termasuk dalam soal geometri bola dan trigonometri.

Pada saat itu ketika teknologi belum semodern sekarang, Ulugh Beg sudah berhasil menghitung kemiringan poros Bumi dengan sangat akurat mendekati ketepatan pengukuran dunia modern. Bahkan Ulugh Beg juga berhasil menghitung kemiringan poros Bumi selama 26.000 tahun. Lingkar Bumi juga diukur, dan hasilnya adalah 24.835 mil. Hanya meleset sedikit dari hasil pengukuran zaman modern dengan peralatan lebih canggih: 24.906 mil.

Ulugh Beg dan murid-muridnya berhasil mengukur posisi titik terjauh Bumi dari Matahari bergerak setiap tahunnya. Dari hasil pengamatan dan perhitungannya, Ulugh Beg dan timnya juga berhasil mengoreksi penghitungan yang pernah dilakukan oleh para astronom Romawi seperti Ptolemeus. Hasil-hasil pengamatan dan hitungan tersebut kemudian dihimpun dalam beberapa buku antara lain, kitab "Zij-i-Djadid-I Sultani". (erd/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads