Yasonna menegaskan, dirinya sepakat jika pemberian remisi bagi terpidana korupsi, narkoba dan terorisme diperketat. Namun, ada yang harus diperbaiki dalam kebijakan yang diperkuat oleh PP No 99 Tahun 2012 tersebut.
"Halah, itu nggak begitu. Saya setuju itu kita ketatkan, tetapi itu ujung sistemnya itu yang kita perbaiki. Ini kan melekatkan pemberian remisi pada sanksi lain yang seharusnya dalam sistem peradilan pidana itu di ujung. Kita buat sepakat kalau remisi pidana umum hampir 50 persen," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang ini misalnya, kalau ada menurut catatan kita orangnya sudah baik, sudah bertobat, orangnya sembayang baik, berlakunya baik, mau remisi, tapi karena misalnya tidak whistle blower minta izin ke KPK nggak dikasih," jelas Yasonna.
"Berarti akan dilakukan di sini untuk instansi lain padahal tugas jaksa dan tugas KPK menuntut. Pada waktu dia menuntut kan sudah dihitung ini orang tidak whistle blower, tidak kooperatif, tidak mau membongkar korupsi, tambah dong hukumannya. Dituntut yang seharusnya 5 tahun tidak kooperatif dituntut 7, 8, 10 tahun. Itu tugas di situ. Setelah itu hakim dengar. Hakim mendengar terdakwa dan penuntut. Setelah didengarnya hakimlah yang memutuskan hukuman itu. Tentu dalam benaknya hitung-hitungannya tahu, ini pasti ada remisi jadi sudah selesai di sini," tambah Yasonna.
(rjo/fjr)