Namun, terkadang kita melupakan duka nestapa yang dirasakan oleh keluarga dari korban bom teroris yang telah meninggal dunia. Setelah anggota keluarga mereka pergi, seolah-olah tak ada perhatian khusus dari pemerintah untuk peduli dengan nasib mereka.
"Yang paling miris adalah anak-istri dari korban yang meninggal dunia. Suami mereka, anak mereka yang menjadi tulang punggung keluarga harus meninggal akibat ledakan bom, sehingga mereka saat ini sangat sulit untuk bertahan hidup," ujar Tony Soemarno, ketua Asosiasi Korban Bom Terorisme Indonesia (ASKOBI) saat menjadi pembicara dalam Pelatihan Peningkatan Profesionalisme Pemberitaan Penanggulangan Terorisme di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (24/8/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Janda dari sopir taksi, satpam, mereka suffer untuk hidup. Kami merasa, mereka ini diperlakukan tidak adil. Tulang punggung keluarga mereka tewas akibat ledakan bom teroris, saat ini banyak diantara mereka yang untuk makan sehari-hari saja susah, bahkan untuk menyekolahkan anak mereka saja tidak mampu," kata Tony, yang juga menjadi korban pengeboman Hotel JW Marriot pada 5 Agustus 2003 silam.
Beberapa yang prihatin, kata Tony, tentunya akan memberikan bantuan sebagai tanda simpati kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun, itu hanya dari segelintir kalangan yang peduli. "Namun hal itu tidak kami temukan di pemerintah. Tidak ada perhatian yang sepantasnya kepada korban bom," kata dia.
Bagi kerabat yang ditinggalkan dan saat ini menderita karena tulang punggung keluarga mereka meninggal, menurut Tony dapat dibantu dengan memberikan bantuan kecil, namun berarti untuk masa depan anak yang ditinggalkan.
"Mungkin bisa dalam bentuk asuransi, agar mereka hidup. Atau uang santunan yang dapat digunakan untuk membuka usaha. Setidaknya berikan perhatian kepada mereka karena dalam peristiwa ledakan bom, mereka hanyalah orang-orang tak berdosa yang berada di tempat yang tidak tepat," pungkas Tony.
(rni/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini