Hakim yang diusulkan diskorsing itu adalah hakim agung Suhadi, hakim agung Andi Samsan Nganro, hakim ad hoc Abdul Latief dan Sofyan Martabhaya. Adapun hakim agung Sri Murwahyuni lolos dari skorsing karena Sri memilih dissenting dalam perkara senilai Rp 1,2 triliun tersebut.
"PK tanpa dihadiri oleh terpidana itu janggal. Patut itu kalau dikualifikasikan sebagai pelanggaran kode etik. Penggantian ketua majelis setelah Djoko Sarwoko juga aneh. Tidak lazim," kata Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma, saat dihubungi detikcom, Selasa (18/2/2014).
Alvon juga sependapat dengan alasan KY atas skorsing ini, di mana majelis hakim PK mengutip pendapat ahli namun tidak utuh. Hal tersebut dianggap sebagai tindakan tidak jujur dan tidak profesional. Sah tidaknya istri Timan sebagai ahli waris dan kemudian bisa mengajukan PK patut dipertanyakan.
"Memang harus diberikan sanksi, karena teledor. Sehingga tidak melihat bahwa pemohon PK tidak ada dan diwakilkan oleh istrinya. Tidak sah, kecuali jika sudah meninggal. Yang jadi pertanyaan apakah istrinya ahli waris atau bukan," jelas Alvon.
Menurut Alvon, kecil kemungkinan pimpinan MA akan menanggapi rekomendasi ini. MA akan cenderung untuk melindung nama baik institusinya.
"Saat ini konflik kelembagaan memang sedang terjadi. Tapi mereka, lembaga mana pun, tidak bisa kepas dari pengawasan. Kalau menurut saya seharusnya (MA) tidak hanya menanggapi, tapi meneruskan," ujarnya.
"Yang benar itu bukan demi nama baik institusi, tapi demi nama baik keadilan," tutupnya.
Sementara itu mantan ketua MA Harifin Tumpa, tak sependapat dengan usulan KY tersebut. Menurutnya, mengutip pendapat ahli sebagian atau seluruhnya adalah kewenangan majelis hakim.
"Menurut saya bukan merupakan pelanggaran kode etik karena itu adalah pendapat majelis walaupun itu mengutip menurut pendapat ahli. Kalau sudah dituangkan dalam putusan bukan lagi pendapat ahli tetapi menjadi pendapat majelis," kata Harifin, Senin (17/2).
(rna/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini