Detikcom dan beberapa wartawan baru bisa bertemu dengan dokter sepuh itu atas 'campur tangan' Sumartono Hadinoto, salah satu tokoh Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), organisasi warga etnis Tionghoa di Solo. Tak sekadar membujuk sang dokter, Sumartono juga mengantar kami dan mengetuk pintu rumah dr Lo demi memastikan sang dokter bersedia menemui kami.
Dengan langkah tertatih dipandu tongkat, sang dokter mempersilakan kami ngobrol di ruang praktik pribadi yang juga kediamannya nan asri itu, Jalan Yap Tjan Bing, Jagalan, Jebres, Solo, akhir pekan lalu. Kesederhanaan terpancar dari perabotan rumah, cara dia mengatur rumah, dan yang utama adalah dari cara bertutur dan memandang lawan bicara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bukan apa-apa. Saya ini bukan berarti menghindari orang, tapi apa yang perlu diketahui dari saya? Biasa saja kok," ujarnya dengan nada datar seperti menjawab kenapa ia seperti enggan wawancara.
Tentu saja dia merendah. Namun jelas, tidak terkesan nada kesombongan atau meminta pujian dari kalimat rendah hati tersebut. Buru-buru dr Lo menambahkan barangkali saat ini orang mengenalnya sebagai dokter yang sering memberi bantuan kepada pasien. Namun ia yakin masih banyak dokter yang melakukan hal seperti dirinya, hanya belum dikenal banyak orang karena bertugas di daerah terpencil.
dr Lo lahir di Magelang 16 Agustus 1934 dari keluarga seorang pengusaha cukup sukses. Tidak ada keluarga atau leluhur yang menekuni dunia pengobatan, namun setelah lulus sekolah menengah, dr Lo memilih melanjutkan pendidikan di kedokteran.
Lulus dari Universitas Airlangga tahun 1962, dr Lo menjadi PNS dan ditugaskan berpindah-pindah melayani warga-warga miskin di pedesaan. Sebelum ditempatkan di Solo, dia pernah bertugas di Gunungkidul, Sleman, Boyolali, Wonogiri dan berbagai daerah lainnya.
Setelah melanglang ke berbagai daerah, dr Lo membuka praktik sendiri di rumah kontrakannya, Kampung Sorogenen, Solo. Saat itu, Sorogenen merupakan salah satu kampung padat penduduk berpenghasilan rendah. Di tempat itulah, dr Lo menikahi Gan May Kwee, gadis yang 13 tahun lebih muda darinya. Baru kemudian sejoli ini pindah ke Kampung Jagalan, tempat yang saat ini dijadikan lokasi praktik sekaligus kediaman.
"Rumah ini kami bangun sedikit demi sedikit. Keluarga istri, terutama paman istri saya, memberikan banyak bantuan untuk membangun rumah ini," kenang dr Lo.
Sejak dulu hingga usianya telah mencapai 79 tahun, dr Lo mendedikasikan hidupnya untuk pasien, terutama pasien miskin. Dulu, papar dia, pasien yang datang tiap hari bisa mencapai 100 orang. Namun sekarang pasien yang datang ke rumahnya rata-rata 'tinggal' 60 pasien.
Tak semua pasien berasal dari kalangan miskin, ada juga yang berduit. Kepada yang kaya inipun, dr Lo tidak memasang tarif. Sebagian di antaranya membayar dengan cara meletakkan amplop berisi uang di meja konsultasi. Dia bahkan pernah dibayar dengan palawija atau buah-buahan hasil kebun pasiennya yang datang dari pedesaan dari Pacitan atau dari Lereng Gunung Lawu.
"Kadang-kadang pasien ada yang jujur mengatakan sama sekali tidak punya uang untuk menebus obat, kadang juga hanya diam. Tapi sebagai dokter yang harus mengetahui kondisi pasien. Saya tahu bahwa pasien yang diam ini pun sebetulnya juga menghadapi kesulitan keuangan. Saya harus menolongnya," ujarnya.
Kepada pasien, dr Lo memberi resep bertanda khusus untuk dibawa apotek yang telah ditunjuknya. Pihak apotek akan memberikan obat itu kepada si pasien secara gratis. Tagihannya akan dibebankan kepada dr Lo di akhir bulan.
Kedermawanan itu diterapkan dr Lo ketika dipercaya mengelola RS Kasih Ibu, Solo sebagai direktur antara tahun 1981 hingga 2004. Dia meminta jajarannya tidak memungut uang muka bagi pasien rawat inap. Ketika itu, RS Kasih Ibu banyak menerima pasien yang telah ditolak oleh banyak rumah sakit karena tidak mampu membayar uang muka perawatan atau hanya karena sekadar tidak mampu menunjukkan KTP.
"Orang yang tidak bisa mengurus KTP pastilah orang yang hidupnya susah. Belum lagi pasien korban kecelakaan. Bagaimana mungkin orang yang terkena musibah mendadak di jalanan dan pasti tidak membawa uang cukup ini harus membayar uang muka. Padahal dia harus mendapatkan perawatan intensif karena musibah itu. Nilai kemanusiaan inilah yang harus dikedepankan. Puji syukur kebijakan itu masih dipertahankan RS Kasih Ibu sampai sekarang," lanjutnya.
Lalu bagaimana dr Lo menghidupi keluarganya? Pria yang tak dikaruniai anak ini mengaku sudah hidup layak dengan gaji sebagai pensiunan PNS. Selain itu, ia mendapat gaji dari RS Kasih Ibu karena masih praktik di poliklinik rumah sakit itu sampai sekarang.
"Lebih dari itu semua, saya beruntung punya istri yang bisa mengerti komitmen saya. Dari saya, dia tidak pernah menuntut yang lebih. Saya dan istri saya merasa cukup dengan kondisi yang sekarang dan merasa berbahagia bisa membantu sesama," katanya.
Di setiap hari kerja, dr Lo membuka praktik di rumah pada pagi dan sore hari. Setelah praktik di rumah selesai, ia berangkat ke RS Kasih Ibu dengan dijemput oleh sopir rumah sakit. Demikian juga pas pulang. Ia kini tak lagi mampu mengendarai mobil Suzuki Karimun miliknya karena menderita osteoarthritis yang menyerang persendian lutut dan pinggulnya.
(try/rmd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini