Setelah melalui perjuangan panjang menyelesaikan tugas belajar di luar negeri, biasanya kebimbangan mulai menghinggapi para lulusan muda ini karena harus memilih antara mengembangkan diri di luar negeri atau di Indonesia.
Lima narasumber yang telah banyak malang melintang dalam berkarir di luar negeri: Denny Tjahjanto, Setia Pramana, Muhammad Reza, Yudi Pawitan dan Yusak Susilo, berbagi pandangan dalam workshop yang diselenggarakan oleh PPI Swedia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu kebimbangan yang umumnya melanda lulusan master atau PhD di luar negeri adalah memilih antara berkarir di dunia akademik atau industri," ujar Denny Tjahjanto, peneliti mekanika benda padat di Kungliga Tekniska Hgskolan (KTH) Stockholm.
Dunia penelitian akademik adalah sangat menarik dan tidak pernah membosankan karena permasalahan baru kerap muncul. Selain itu juga memberi kesempatan networking luas melalui kegiatan mengajar dan konferensi, serta tak kalah penting adalah kebebasan dalam menentukan arah dan topik penelitian.
"Berkarir akademik di luar negeri juga sarat dengan beragam tantangan antara lain sulitnya mendapatkan status kerja tetap di mana kebanyakan peneliti harus puas dengan status kontrak atau sementara," imbuh Denny.
Kedua, lanjut Denny, gaji yang ditawarkan di dunia akademik umumnya lebih rendah dibanding di industri. Ketiga, adanya tuntutan kerja cukup tinggi di beberapa negara. Disarankan agar setiap lulusan tetap membuka peluang di dunia akademik atau industri.
Terkait dengan melanjutkan S3 bagi lulusan S2, program S3 umumnya kurang diminati oleh orang lokal dibanding karir di industri. Mengambil program S3 tidak membutuhkan otak pintar, yang penting ketekunan dan keseriusan.
"Konsistensi itu diperlukan untuk mengatasi semangat yang mungkin naik-turun selama empat tahun," pungkas Denny.
Perbedaan
Pembicara Setio Tio Pramono, peneliti biostatistik pada Karolinska Institute (KI) Stockholm, memaparkan perbedaan budaya dunia akademik dan industri.
Pertama, dalam hal jam kerja, akademisi lebih fleksibel dan mandiri dalam menentukan lokasi dan cara bekerja. Namun menurut penelitian akademisi juga sebagian besar gila kerja, ditunjukkan dalam angka statistik, misalnya tingginya makalah ilmiah yang diunduh sampai larut malam.
"Ini menunjukkan bahwa menjadi peneliti lebih merupakan panggilan jiwa, bukan karyawan yang bekerja rutin dari pukul sembilan sampai pukul lima," cetus Tio.
Perbedaan kedua ada pada dana. Karyawan industri tidak perlu memikirkan dana untuk bekerja, sedangkan akademisi perlu terlebih dahulu mencari dana sebelum bisa melakukan penelitian. Namun jangan khawatir, sebab peneliti bisa mendapat dana sampingan sebagai konsultan.
Ketiga, perbedaan mengenai dampak produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan akademisi umumnya bersifat tidak langsung dan berbentuk ide sehingga dampaknya tidak terlalu cepat, sedangkan industri lebih tertarik untuk menghasilkan produk bersifat langsung dalam bentuk produk jadi.
Tio menggarisbawahi potensi kolaborasi antara kedua dunia yang sifatnya berbeda itu. Kolaborasi dapat menguntungkan pihak akademisi berupa dana penelitian dan akses kepada sumber daya, pengetahuan, dan jaringan dalam dunia industri.
"Bagi industri, keuntungannya adalah akses ke peneliti kelas dunia dan pengetahuan-pengetahuan terdepan dalam bidang terkait. Untuk memicu kolaborasi, ada tiga hal utama yang harus ada, yakni hubungan baik, tujuan searah, dan sumber daya," demikian Tio.
Budaya
Banyak mahasiswa Indonesia di dalam maupun luar negeri berpikir bahwa lulusan S3 pasti jadi dosen. Alasan pertama adalah sedikitnya contoh dari lulusan doktor pendahulu mereka yang berkarir di industri.
"Kebanyakan di antara mereka pulang dan ingin menjadi dosen. Akhirnya pola ini dijadikan acuan," tegas Muhammad Reza, yang kini bekerja di salah satu perusahaan peralatan listrik raksasa dunia di Swedia.
Alasan kedua, lanjut Reza, karir industri di Indonesia tertutup bagi lulusan S3. Jarang sekali industri di Indonesia yang menerima lulusan S3. Alasan ketiga, banyak dosen di Indonesia akhirnya diangkat menjadi pejabat tinggi, contoh Budiono, Sri Mulyani, dan Fauzi Bowo.
Iindustri di Indonesia umumnya hanya menerapkan prinsip dagang tanpa memberikan perhatian besar pada penelitian dan pengembangan produk secara ilmiah. Akibatnya, industri di Indonesia tidak mampu berinovasi karena absennya budaya penelitian.
Bagi dunia akademik, hal itu berakibat para peneliti mengalami kemacetan untuk menyalurkan ide- ide mereka ke dalam dunia industri. Jarang sekali hasil penelitian yang akhirnya dikomersialkan. Keduanya berjalan sendiri-sendiri dan menjauhi satu sama lain.
Untuk menyelesaikan kepelikan ini, Reza menyarankan agar mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri jangan pulang dulu.
Pertama, gunakan kesempatan yang ada di negara maju untuk berlatih menerapkan hasil penelitian dalam suasana industri yang ideal. Jika dalam situasi yang ideal saja tidak bisa menerapkan penelitian, tak usahlah memikirkan penerapan penelitian di Indonesia yang masih jauh dari ideal.
Kedua, jalin jaringan kuat dengan industri di luar. Dalam jangka panjang, jaringan ini akan membuka akses dana dan kesempatan besar, jika nantinya mereka menjadi peneliti di Indonesia.
Ketiga, gunakan pengaruh yang dimiliki di Eropa untuk menarik mahasiswa-mahasiswa S3 atau doktor-doktor Indonesia untuk kerja praktik di industri, sehingga mereka bisa belajar menerapkan hasil penelitian.
(es/es)