"Menurut saya, Aceh dan bangsa Indonesia secara nasional harus lebih cerdas di masa mendatang. Setelah terjadi bencana di Aceh apa yang kita temukan? Jangan sampai kita tidak temukan apa apa," kata Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar saat berbincang dengan wartawan di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, NAD, Senin (6/12/2010),
malam.
Menurut Nazar, tsunami di Aceh harus membuat bangsa Indonesia bisa menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi pengembangan teknologi penanggulangan bencana. Selain itu, Indonesia harus lebih mandiri dalam pengurangan risiko bencana dan tidak malah tergantung dengan asing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita, kan, harus melakukan hal yang sama. Jangan sampai sudah terjadi bencana di Aceh, Padang, Jawa Barat, di Yogya dan di mana-mana, 10 tahun lagi sedikit gempa, bangunan di mana-mana hancur lagi, hancur lagi. Artinya kita tidak mengalami perubahan," ujarnya.
Nazar menjelaskan, belajar dari tragedi tsunami yang memakan korban hingga 200 ribu orang di wilayahnya 6 tahun silam, ada beberapa hal mendasar yang harus dipersiapkan. Beberapa hal itu adalah peraturan yang tegas, teknologi informasi kebencanaan, kesiapan masyarakat, dan pemanfaatan kearifan lokal.
Dari segi peraturan, Nazar menginginkan, pemerintah pusat membuat aturan khusus mengenai pembangunan infrastruktur di daerah yang rawan bencana seperti Aceh. Lalu menyangkut teknologi informasi, Aceh saat ini telah mempunyai sejumlah perangkat pendeteksi tsunami yang dipasang di perairan Aceh, meski jumlahnya masih kurang
banyak.
Di bidang kelembagaan, Aceh membangun beberapa lembaga penanggulangan bencana pasca tsunami. Lembaga-lembaga itu antara lain Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Pusat Pengendalian Operasi atau Crisis Center yang bermarkas di Kantor Gubernur. Crisis center itu dilengkapi peralatan canggih bantuan dari Prancis, dan 26
operatornya dilatih di Australia.
"Kemudian kita juga membentuk Tsunami Disaster Mitigation Reseach Center (TDMRC) yang dikunjungi Wapres tadi (kemarin). Tujuannya untuk meneliti, meriset, mitigasi, terjadinya tsunami. Mungkin TDMRC di Aceh ini yang pertama di Indonesia saya kira," kata Nazar.
Terkait dengan kesiapan masyarakat, Nazar mengungkapkan, masyarakat Aceh telah diberi pelatihan-pelatihan menghadapi tsunami (tsunami drill) secara berkala. Di Aceh, telah dua kali diselenggarakan tsunami drill berskala internasional, yang diikuti oleh 5.000-an masyarakat Aceh. Di tanah rencong, imbuhnya, saat ini juga sudah dibentuk
desa siaga bencana.
Selain itu, untuk mempersiapkan antisipasi bencana sejak dini, Pemda Aceh berencana memasukkan pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum sekolah SD hingga SMA. Bahkan, ia meminta perguruan tinggi di Aceh untuk membuka program studi kebencanaan. Aceh juga telah mengirim puluhan mahasiswa untuk belajar mengenai bencana ke luar negeri.
"Yang namanya bencana, kan, ada saja yang terjadi di luar perkiraan kita. Makanya kita buat agar masyarakat siaga. Paham dan siaga, itu saja," cetusnya.
Menyangkut kearifan lokal, Nazar mengatakan, masyarakat di daerah Simeulue, pesisir barat Aceh, mempunyai tradisi bernama Smong. Smong yang dalam bahasa umum berarti tsunami, berisi peringatan dini akan terjadinya bencana.
Smong yang sudah turun temurun diwariskan masyarakat Simeulue terbukti mampu menekan jatuhnya korban ketika tsunami melanda daerah itu pada 2004.
"Tanpa teknologi mereka selamat. Hanya 3 orang yang meninggal waktu tsunami, itu pun sudah naik dia turun kembali, karena mau mengambil barang," tutupnya.
(irw/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini