"Ada 2 alasan mengapa BPSK tidak sama dengan small claims court dan tidak
diminati masyarakat," kata David Tobing, pengacara yang baru saja memenangkan klaim Rp 10 ribu melawan pengelola parkir kepada detikcom, Senin, (8/6/2010).
Pertama, keputusan BPSK tidak final. Pihak bersengketa bisa menggugat putusan ke pengadilan umum sehingga konsumen seakan-akan cuma buang-buang waktu. "Karena kalau menang di BPSK, masih bisa berproses di pengadilan umum hingga banding dan kasasi," bebernya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
pengadilan setempat untuk melaksanakan proses eksekusi sehingga bisa saja
ditolak. "Jadi sifatnya hanya rekomendasi saja," kisahnya.
BPSK sendiri merupakan bentukan UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jumlah majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya berjumlah 3 orang yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta dibantu oleh seorang panitera. Hingga saat ini, terdapat 43 BPSK yang berkedudukan BPSK di bawah Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. BPSK bersidang maksimal 21 hari.
"Itulah mengapa kemarin, sewaktu menggugat pengelola parkir, saya menggugatnya ke pengadilan , bukan ke BPSK karena pengadilan punya kekuatan hukum mengikat. Kalau ke BPSK, meski saya menang, yang kalah bisa menggugat balik ke pengadilan. Jadi harus 2 kali berperkara," tambahnya.
David Tobing mengusulkan bahwa jika BPSK sudah memutus, maka harus final dan tidak perlu lagi berproses di pengadilan umum hingga Mahkamah Agung (MA). Adapun Small Claims Court telah diterapkan di negara Australia, Kanada, Irlandia, Israel, Selandia Baru, Skotlandia, Afrika Selatan, Hong Kong, Inggris dan Wales dan Amerika Serikat. Di Singapore, dikenal dengan Small Claims Tribunals yang dibentuk untuk menangani gugatan maksimal senilai 20 ribu dolar Singapore dengan proses yang tidak terlalu formal.
"Di Indonesia, dalam bahasa gampangnya, BPSK tidak merakyat," terang dia.
(asp/rdf)