Dalam debat calon gubernur yang berlangsung panas, mantan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan capaian kepemimpinannya. Ia menyatakan bahwa hampir setiap dua hari sekali, Jawa Timur menerima penghargaan di bawah kepemimpinannya, dengan total 732 penghargaan selama menjabat. Namun, prestasi ini justru memicu reaksi kritis dari pesaingnya dan tokoh masyarakat.
"Apalah arti dari sekian banyak penghargaan jika korupsi masih merajalela, pembangunan tidak merata, dan kemiskinan tetap tinggi di berbagai sudut Jawa Timur?" ujar Cagub Luluk Nur Hamidah, dikutip Senin (4/11/2024).
Pernyataan ini seolah mencerminkan kegelisahan masyarakat yang merasa bahwa penghargaan formal tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menambahkan perspektif yang lebih mendalam, Cagub Tri Rismaharini, yang turut mendukung perubahan.
"Penderitaan rakyat adalah penderitaan kita," tegasnya.
Selain itu, Risma dengan penuh empati menyatakan bahwa keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya diukur dari trofi atau piagam yang diperoleh, namun dari seberapa besar dampak positif yang dirasakan oleh rakyat.
Sementara itu, komentar pedas datang dari KH Imron Fauzi, tokoh kharismatik dan Wakil Ketua Pemenangan Risma-Hans di Jawa Timur. Menurutnya, pemimpin tidak seharusnya berfokus pada piala atau penghargaan sebagai target utama. Ia mengingatkan bahwa penghargaan hanyalah formalitas, sedangkan realita yang dihadapi rakyat adalah hal yang lebih penting.
"Pemimpin janganlah piala yang menjadi target. Berapa banyak dana hibah, dana Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas), yang dikorupsi dan tidak sampai ke masyarakat?," ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran tentang penyalahgunaan dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, namun malah dinikmati segelintir elit politik.
Menurut KH Imron Fauzi, jika penghargaan terus menjadi prioritas tanpa adanya perubahan nyata di lapangan, maka yang terjadi hanyalah ketimpangan yang terus mengakar di masyarakat.
"Penghargaan itu tidak akan mengurangi kemiskinan atau memberantas korupsi. Apa gunanya penghargaan jika rakyat tetap hidup dalam keterbatasan dan keputusasaan?," tuturnya.
Di sisi lain, pernyataan KH Imron Fauzi dan Luluk mencerminkan pandangan yang kritis terhadap gaya kepemimpinan yang lebih mementingkan penghargaan daripada pemenuhan kebutuhan rakyat.
Mereka melihat bahwa penghargaan seharusnya datang sebagai dampak dari kebijakan yang nyata dan berfokus pada kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar angka atau formalitas yang diperoleh untuk citra belaka. Luluk dan KH Imron Fauzi sepakat bahwa Jawa Timur membutuhkan pemimpin yang tidak hanya haus penghargaan, tetapi juga mampu membawa perubahan nyata.
(ega/ega)