Apa itu Parliamentary Threshold? Ini Pengertian, Aturan, dan Sejarahnya

Kanya Anindita Mutiarasari - detikNews
Jumat, 16 Feb 2024 14:54 WIB
Gedung DPR (Foto: Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta -

Parliamentary threshold merupakan istilah yang berhubungan dengan partai politik (parpol) peserta Pemilu. Parliamentary threshold adalah syarat bagi partai politik agar lolos parlemen.

Ketentuan parliamentary threshold bagi parpol tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Putusan MKRI. Lantas, apa itu parliamentary threshold? Berikut penjelasannya.

Apa itu Parliamentary Threshold?

Dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 48/PUU-XVIII/2020, parliamentary threshold adalah ambang batas parlemen. Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen adalah syarat minimal perolehan suara yang harus diperoleh partai politik peserta Pemilu, agar bisa diikutkan di dalam pembagian kursi di DPR.

Aturan Parliamentary Threshold

Dalam Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa syarat partai politik lolos parlemen adalah memenuhi ambang batas parlemen. Berikut bunyi aturannya.

Pasal 414.

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
(2) Seluruh Partai Politik Peserta Pemilu diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Lalu, bagaimana jika parpol peserta Pemilu tidak memenuhi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold? Ini ketentuannya menurut Pasal 415 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Pasal 415

(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan.

Asal-usul Parliamentary Threshold

Aturan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Saat itu, pemerintah menetapkan syarat parpol bisa memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan syarat memperoleh suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara nasional. Hal itu tercantum dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.

Namun, peraturan ambang batas parlemen pada 2009 belum berlaku untuk kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah kemudian kembali memberlakukan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dalam Pemilu 2014.

Berdasarkan Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, pemerintah menetapkan batas perolehan suara lebih tinggi, yaitu 3,5 persen dari jumlah suara nasional, sebagai syarat bagi sebuah parpol bisa memperoleh kursi di DPR. Peraturan ambang batas parlemen pada Pemilu 2014 mulai diterapkan untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Lalu, aturan parliamentary threshold juga diberlakukan pada Pemilu 2019 yang tercantum dalam Pasal 414 dan 415 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam UU itu ditetapkan sebuah parpol harus memperoleh suara sekurang-kurangnya 4 persen dari jumlah suara nasional untuk bisa memperoleh kursi di DPR.

Aturan itu berlaku secara nasional sehingga partai yang lolos ambang batas parlemen nasional secara otomatis lolos masuk parlemen daerah, sedangkan partai yang tidak lolos ambang batas parlemen nasional, tidak lolos untuk DPRD kabupaten/kota.




(kny/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork