Masih ada pro-kontra apakah hasil psikotes capres-cawapres perlu dibuka atau tidak. Meski begitu, tentu masyarakat tidak ingin dipimpin orang dengan kepribadian berbahaya. Ada karakter yang perlu diwaspadai yakni dark triad. Apa itu?
Dari perspektif psikologi dan neurosains, Galang Luftiyanto membagikan pandangannya mengenai karakteristik berbahaya bila kadarnya berlebihan di dalam diri pemimpin. Pemimpin dengan karakter dark triad berisiko menjadi diktator.
"Ada yang namanya dark triad of leadership, yakni beberapa karakteristik yang sebenarnya karakter ini bisa membuat seseorang menjadi pemimpin tetapi ini membahayakan karena dalam jangka panjang ini akan merusak," kata Galang, Kamis (24/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Psikolog dari UGM dan peraih gelar Ph.D dalam Neurosains Kognitif dari Universitas New South Wales ini menjelaskan karakter dark triad bisa membuat seseorang sukses menjadi pemimpin. Namun demikian, karakter itu punya sifat destruktif dalam jangka panjang. Soalnya, orang dengan karakter dark triad ini punya sifat manipulatif.
"Ini bisa membuat orang bisa efektif memimpin dalam jangka pendek, tapi jangka panjangnya dia bakal merusak sistem," kata Galang.
Lantas apa itu dark triad? Sandra J Diller dkk dalam 'The positive connection between dark triad traits and leadership levels in self' dalam 'Leadership, Education, Personality: An Interdisciplinary Journal (2021)' menjelaskan hal ini.
Istilah dark triad atau sering disingkat DT merujuk pada tiga kepribadian, yakni narsisisme, Machiavellianisme, dan psikopati. Pertama, narsisisme, dicirikan oleh perasaan superior dan mencari perhatian dan kekaguman dari orang lain terhadap dirinya. Narsisisme punya ke-hiperkompetitif-an, yakni butuh berkompetisi dan memenangkan kompetisi apapun caranya. Individu narsis juga punya ciri bersifat dominan, dan self entitlement (merasa memiliki hak khusus atas sesuatu meskipun orang yang bersangkutan hanya punya peran kecil atau tidak sama sekali).
Narsisisme tidak cuma soal cinta diri (self-love) tapi juga punya waham kebesaran, juga hipersensitif dan defensif. Sifat hipersensitif dapat mengarah pada kurangnya empati, amoral, irasional, dan paranoid.
Kepribadian kedua dari dark triad adalah Machiavellianisme. Kepribadian ini punya kecenderungan memaksimalkan keuntungan pribadi dengan menggunakan orang lain sebagai alat belaka. Orang berkepribadian Machiavellianisme menggunakan taktik manipulatif untuk meningkatkan dan menjaga kekuasaan. Ini dapat mengarah ke sikap nekat dan perilaku tidak etis. Machiavellianisme berkaitan dengan strategi meraih kekuasaan.
Kepribadian ketiga dari dark triad adalah psikopati. Psikopati diasosiasikan dengan sifat impulsif (cepat menuruti gerak hati), agresif tak terkontrol, dan mencari sensasi. Itu dapat mengarah pada disinhibisi (kehilangan kontrol diri), kasar, dan berani. Orang dengan kecenderungan psikopati yang tinggi menunjukkan sikap kasar dan rendahnya penghargaan terhadap orang lain akibat menurunnya level empati, afeksi, rasa bersalah, dan kesadaran. Psikopat mempertahankan sikap tidak berperasaan mereka lewat cara dilihat oleh orang yang dibikinnya menderita.
Galang Luftiyanto menilai pemilih perlu menghindari capres, cawapres, caleg, atau siapapun kandidat pemimpin publik yang punya tendensi dark triad yang tinggi. Ada cara mengetahui apakah seseorang punya dark triad atau tidak, yakni lewat kuesioner dark triad.
Dalam pemeriksaan kesehatan Pilpres 2019 lalu (Keputusa KPU Nomor 1004/PL.02.2-Kpt/06/KPU/2018), terdapat tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Disoreder (MMPI) untuk melihat kepribadian dan psikopatologi seseorang. Ada juga MINI-ICD 10 (Mini International Psychiatric Interview Version ICD-0) untuk mendiagnosa ganguan psikiatrik. Ada pula EEG (Electroencephalogram) yakni pemeriksaan yang berfungsi untuk mendeteksi berbagai macam penyakit serta kelainan pada otak dan saraf, hingga pemeriksaan neurologis.
Pendekatan neurosains
Galang Luftiyanto menilai perlu pendekatan neurosains di masa-masa mendatang untuk memeriksa capres, cawapres, dan calon pemimpin lain. Neurosains adalah ilmu relatif baru yang mempelajari sistem saraf makhluk hidup yang fokusnya adalah seluk-beluk otak manusia.
"Menurut saya, neurosains sangat diperlukan ke depannya. Cuma saat ini perkembangan neurosains masih belum pada level yang bisa diterima seperti tes psikologi," kata Galang.
Dia mengatakan tes neurosains lebih baik ketimbang tes psikologi (psikotes). Model tesnya bisa memakai EEG dengan alat yang dipasang di kulit kepala, memeriksa aktivitas listrik di otak. Ada pula dengan instrumen berbasis komputer yang telah divalidasi neurosaintis.
"Keunggulan tes neurosains adalah, pertama, lebih susah untuk diakali oleh peserta tes daripada tes psikologi. Kedua, bisa untuk mengukur aspek-aspek psikologis yang tidak disadari. Ketiga, bisa mengukur potensi," kata Galang.
Di Indonesia, metode neurosains dalam seleksi kepemimpinan sudah mulai diterapkan. Galang sendiri terlibat dalam kemitraan neuropsikologi untuk calon-calon pemimpin di BUMN. Namun, ini masihd alam taraf riset.
Tes psikologi capres perlu dibuka?
Galang tidak setuju bila tes psikologi capres-cawapres dibuka. Soalnya, itu bakal memunculkan stigma pada orang yang bersangkutan. Data kesehatan adalah data pribadi, bukan untuk publik.
"Sebenarnya, kalau pemeriksaan psikolgi, apapun itu, sifatnya rahasia. Kita terikat dengan kode etik," kata dia.
Staf Peneliti di Pusat Riset Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menilai hasil psikotes capres-cawapres perlu dibuka ke publik. Soalnya, perkara kesehatan capres-cawapres bukan lagi urusan pribadi melainkan urusan nasib publik.
"Saya pikir perlu supaya itu menjadi pertimbangan publik dalam mengevaluasi dan menimbang capres pilihan mereka," kata Wasisto dihubungi terpisah oleh detikcom.
Simak juga 'Survei SMRC: Elektabilitas Ganjar Rebound Ungguli Prabowo dan Anies':