Wali kota Blitar dua periode ini mengingatkan, jika Indonesia ingin jadi negara kuat, jangan terjebak menjadi bangsa imitasi. "Datang kebudayaan dari Arab, Korea, Amerika, jangan mentah-mentah diikuti. Harus disaring. Tetaplah bangga dengan identitas bangsa Indonesia," tegas Djarot.
Djarot lalu mengungkit Pilgub DKI tahun 2017 yang menurutnya terjadi politisasi SARA, membenturkan suku, agama, dan antar golongan. Dia mengingatkan publik agar tak kembali melakukan hal tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang terjadi di Jakarta saat itu sudah bukan demokrasi lagi, tapi sudah barbar dan kejahatan demokrasi. Memaksakan kehendak dan menghalalkan segala cara demi memperoleh kekuasaan," kata Djarot.
Djarot menggarisbawahi, seorang yang menjalankan Pancasila sebagai pandangan hidupnya harus berperikemanusiaan dan menjadi sosok beradab, toleran, dan menjunjung persatuan. Dia berpesan, bangsa Indonesia yang menganut sistem demokrasi pasti selalu memiliki perbedaan.
"Saya pernah dihadang-hadang dan diancam oleh kelompok itu. Saya jawab, bahwa kalau tak suka pada Ahok, Djarot, itu hak kalian untuk tidak memilih. Tapi tak bisa mengintimidasi dan menjual ayat-ayat untuk kepentingan sendiri," jelasnya.
"Namun, perbedaan itu bukan untuk menjadikan kita bermusuhan. Di sinilah Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa menyatukan semua perbedaan dan memperkokoh persatuan bangsa. Pancasila itu merangkul semua komponen anak bangsa," pungkas Djarot.
Sebagai informasi, baru-baru ini, Pidato Bung Karno berjudul To Build the World A New (Membangun Tata Dunia Kembali) ditetapkan UNESCO sebagai Memory of the World (MoW). Pidato Bung Karno yang sangat monumental itu berlangsung di depan Sidang PBB pada 31 September 1960 dan ditetapkan sebagai dokumen sejarah. Ini menjadi bukti bahwa dunia begitu mengagumi Bung Karno dan pemikiran Bung Karno yang dianggap bukan sekadar pemimpin bangsa Indonesia, tetapi pemimpin dunia.
(fca/gbr)