Perubahan Sistem Pemilu Dinilai Harus Sejalan dengan Amanah Konstitusi

Perubahan Sistem Pemilu Dinilai Harus Sejalan dengan Amanah Konstitusi

Sukma Nur - detikNews
Rabu, 22 Feb 2023 21:12 WIB
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat
Foto: dok. MPR RI
Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) menilai pentingnya melakukan sejumlah penguatan pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan bernegara sesuai yang diamanatkan konstitusi. Hal ini mengingat saat ini semua sedang berada di tengah berbagai perubahan di tingkat global.

"Polemik tentang perubahan sistem Pemilu harus segera dijawab dengan argumentasi yang mampu mendorong pelaksanaan demokrasi di tanah air menjadi lebih baik dan sesuai dengan amanah konstitusi," kata Rerie dalam keterangannya, Rabu (22/2/2023).

Menurutnya demokrasi merupakan sistem yang diharapkan mampu mengawal kehidupan bernegara dalam menyikapi perubahan pascapandemi dan bayang-bayang resesi global. Oleh karena itu, Ia menyayangkan saat ini Indonesia berhadapan dengan polemik perubahan sistem Pemilu, di saat tahapan Pemilu sudah berlangsung.

Dikatakan Rerie, pemohon perubahan sistem Pemilu di Mahkamah Konstitusi, saat ini mengajukan sistem Pemilu proporsional tertutup sebagai pengganti sistem Pemilu yang berlaku. Menurutnya, sistem proporsional tertutup membatasi hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya di parlemen.

Oleh karena itu, Rerie menilai sistem Pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini seharusnya dipertahankan. Ia pun mendorong diskusi ini untuk mengedepankan upaya penguatan pelaksanaan demokrasi dalam praktik bernegara di tanah air.

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan perdebatan tentang perubahan sistem Pemilu harus segera diakhiri. Ia berharap Mahkamah Konstitusi dapat menyikapi permohonan sejumlah kalangan untuk mengubah sistem Pemilu itu dengan bijaksana.

Menurut Feri, pengajuan perubahan sistem Pemilu di saat jadwal tahapan Pemilu sudah berjalan merupakan langkah yang aneh. Apalagi, kata Feri, pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan kedaulatan ada di tangan rakyat.

Pasal ini telah menegaskan yang berhak menentukan siapa yang duduk di parlemen mewakili rakyat, ya rakyat itu sendiri. Sehingga, proses Pemilu itu tidak lagi diwakilkan kepada ketua partai politik.

Feri menuturkan berdasarkan amanah konstitusi itu sistem Pemilu yang tepat adalah proporsional terbuka. Selain itu, dari sisi momentum, menurutnya pengajuan perubahan sistem Pemilu di saat tahapan Pemilu sudah berjalan juga akan memicu ketidakpastian hukum.

Terkait indikasi adanya politik uang pada pelaksanaan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka, menurut Feri, hal itu merupakan kesimpulan yang singkat. Sebab, dalam pelaksanaan sistem Pemilu apa pun, menurutnya berpotensi terjadi kecurangan dalam bentuk politik uang.

Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fisip Universitas Islam Internasional Indonesia, Philips J. Vermonte menilai dalam perspektif jangka panjang perubahan sistem Pemilu itu sah-sah saja. Namun, Ia mengatakan akan merepotkan bila aturan main diubah ketika tahapan-tahapan Pemilu sudah berjalan.

Menurutnya dalam upaya mengubah sistem Pemilu harus disepakati dulu tujuan perubahan sistem tersebut. Setidaknya ada dua pertimbangan yang bisa mendasari perubahan sistem Pemilu, yaitu sistem yang baru akan meningkatkan representasi warga atau governance.

Philip juga mengatakan tulang punggung demokrasi perwakilan adalah partai politik sehingga perlu diupayakan agar partai politik bisa menjadi lembaga yang lebih demokratis.Terkait proses perubahan sistem Pemilu yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini, Ia menyarankan bila terjadi kesepakatan perubahan sistem Pemilu harus dikunci dengan ketentuan bahwa keputusan itu berlaku untuk Pemilu berikutnya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW, Almas Ghaliya Putri Sjafrina mempertanyakan apakah usulan perubahan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup mampu menjawab persoalan yang dihadapi saat ini.

Dikatakan Almas, sistem Pemilu proporsional terbuka atau tertutup sama-sama rentan terhadap politik uang. Ia juga menambahkan sistem Pemilu proporsional tertutup berpotensi menjauhkan rakyat dari wakilnya dan kesempatan mengevaluasi wakilnya di parlemen.

Padahal, menurut Almas, pada kondisi saat ini partai politik harus didorong agar tidak absen dalam penuntasan berbagai persoalan masyarakat. Hadirnya pemilu berbiaya tinggi, kata Almas, tidak cukup dicegah dengan mengubah sistem Pemilu semata. Pembenahan partai politik dari sisi komitmen penguatan demokrasi dan pendidikan politik masyarakat, tambahnya, juga penting direalisasikan.

Tak hanya itu, Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan juga berpendapat Pemilu dengan sistem proporsional terbuka lebih dekat dengan amanah konstitusi. Ia menilai secara konstitusional akan sulit bila Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan untuk menyepakati sistem Pemilu proporsional tertutup dalam proses judicial review yang sedang berlangsung saat ini.

Apalagi, tegasnya, pada putusan sebelumnya MK telah sepakat dengan sistem Pemilu proporsional terbuka karena dinilai sesuai dengan amanah konstitusi. Menurutnya tidak ada relevansi antara dugaan maraknya politik uang dengan penerapan sistem Pemilu proporsional terbuka. Dia menduga belum tereksposnya praktik politik uang di masa lalu, karena ketika itu belum ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ia menduga dorongan mengubah sistem Pemilu bagian dari upaya sejumlah pihak yang menginginkan penundaan pelaksanaan Pemilu.

Dalam kesempatan tersebut, Jurnalis senior Abdul Kohar pun berpendapat di tengah berlangsungnya tahapan Pemilu, setiap anak bangsa harus dipenuhi dengan pikiran-pikiran strategis untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih demokratis.

Ia juga memaparkan catatan Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022, cenderung stagnan pada angka 6,7. Demokrasi Indonesia saat ini, menurutnya masih dikategorikan sebagai demokrasi yang cacat.

Kondisi tersebut dinilai Kohar akan bertambah parah bila kelak akan diterapkan sistem Pemilu yang berpotensi menghalangi hak-hak masyarakat. Apalagi di negara Dunia Ketiga pada umumnya di masa transisi demokrasi tidak berjalan dengan baik yang disebabkan adanya kepentingan kekuasaan lama untuk kembali mengkonsolidasikan diri

Sebagai informasi, diskusi ini dimoderatori oleh Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Luthfi, dan menghadirkan Dekan Fisip Universitas Islam Internasional Indonesia Philips J. Vermonte, Ph.D ,Direktur Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M. dan Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesian Corruption Watch /ICW Almas Ghaliya Putri Sjafrina sebagai narasumber.

Selain itu, diskusi ini juga dihadiri Pakar Hukum Tata Negara Dr. Atang Irawan, S.H., M.Hum sebagai penanggap.

Simak juga Video 'Tangkal Serangan Siber di Pemilu, BSSN Pastikan Satgas Sudah Mulai Bekerja':

[Gambas:Video 20detik]



(fhs/ega)




Hide Ads