Partai Ummat terang-terangan menyampaikan bahwa mereka menggunakan politik identitas. Menurut Partai Ummat, istilah politik identitas telah disesatkan.
"Wajib itu (politik identitas). Kita malah clear, wajib politik identitas," ucap juru bicara Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, dalam acara Adu Perspektif, Total Politik X detikcom, dengan topik 'Anies Vs Prabowo, Siapa Bisa Rebut Suara 'Umat'?' Selasa (21/2/2023).
"Karena di Indonesia, istilah ini disesatkan oleh oknum tertentu sehingga menyesatkan banyak orang dan banyak intelektual tersesat dengan istilah itu," sambungnya.
Mustofa menilai ada pemaknaan negatif tehadap politik identitas. Menurutnya, istilah itu diidentikkan dengan gerakan politik Islam.
"Semua kegiatan yang terkait dengan agama Islam distempel, disemati dengan politik identitas. Dijadikan momok oleh pihak tertentu dan ini terlambat karena di luar negeri itu sudah lama," katanya.
Menurut Mustofa, politik di Indonesia tak asing dengan istilah identitas. Namun saat ini, katanya, 'identitas' dicap sebagai sesuatu yang negatif.
"Kalau dulu sering banyak orang ngomong begini, 'Negara kita krisis identitas.' Ketika sekarang saya kasih politik identitas, identitas politik sekalian, kenapa bingung, pada protes?" ucapnya.
Menurutnya, yang jadi masalah adalah mencuri identitas salah satu kelompok untuk mendapatkan suara pada Pemilu.
"Yang terjadi pencurian identitas selama ini. Orang yang nggak pernah ke masjid, menjelang Pemilu dia pakai jubah, pakai kopiah, pakai apa itu ubel-ubel (kain dililitkan di kepala), datang, keluar masuk pesantren. Datang, keluar masuk masjid," ucapnya.
"Kalau kalah dia langsung membenci agama Islam. Menang pun kadang-kadang juga membenci pula. Maka sekalian kita politik identitas," ucapnya.
Menurut Mustofa, partai politik lain juga menggunakan politik identitas. Namun, mereka tak mengakui hal tersebut.
"Siapa yang tidak pernah memakai politik identitas? Semua partai memakai. Ketika Pak Ma'ruf Amin (jadi Cawapres pendamping Joko Widodo di Pemilu 2019), apa sih pertimbangannya? Apa coba? Kan beliau bekas Ketua Umum MUI, itu politik identitas, dan itu biasa," ujar Mustofa.
"Tapi, yang melakukan itu adalah oposisi, di-bully 24 jam, 7 hari seminggu, 12 bulan setahun, 5 tahun dalam satu kali Pemilu,"sambungnya.
(aik/haf)