Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai NasDem Ahmad Ali menuding Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang mendorong agar partainya keluar dari koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hasto pun merespons tudingan itu.
"Sekarang mari kita bayangkan, ketika Bapak Presiden Jokowi sedang berkonsentrasi pada agenda negara yang begitu penting, menyiapkan G20, kemudian juga mengatasi berbagai masalah ekonomi. Lalu, di dalam bagian dari koalisi pendukung Presiden Jokowi ada yang menggalang kekuatan partai yang selama ini berseberangan dengan pemerintah," kata Hasto usai acara 'Turnamen Bulutangkis Persahabatan' di GBK Arena, Jakarta, Minggu (23/10/2022).
NasDem telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres yang akan diusung pada Pilpres 2024. Menurut Hasto pengumuman calon presiden menyentuh permasalahan etika.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasto lantas menyinggung pernyataan Zulfan Lindan soal Anies antitesis Jokowi. Zulfan Lindan sendiri dinonaktifkan dari kepengurusan NasDem buntut pernyataan terkait Anies antitesis Jokowi itu.
"Maka di situ menyentuh aspek etika di dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Karena sudah mengumumkan suatu capres yang secara sadar dinyatakan itu sebagai antitesa dari kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi," katanya.
Menurutnya, hal itu menimbulkan permasalahan di dalam pemerintah. Terutama pembahasan di kabinet yang umumnya bersifat rahasia dan strategis.
"Karena hal-hal yang dibahas oleh Bapak Presiden Jokowi dalam rapat-rapat kabinet terbatas. Hal-hal yang sifatnya sangat rahasia, yang selama ini terus dikritisi meskipun dalam demokrasi dibuka ruang untuk memberikan kritik. Tetapi terkait dengan strategi pemerintahan, ini kan diperlukan suatu jajaran kabinet yang sangat solid," kata Hasto.
Semestinya, lanjut Hasto, kepentingan dari koalisi pemerintahan untuk membawa keberhasilan kabinet Indonesia Maju. Bukan justru, untuk kepentingan partai.
"Terlepas dari berbagai tarik menarik kepentingan Pilpres, yang orientasinya hanya tunggal, yaitu membawa keberhasilan bagi kabinet Indonesia Maju untuk rakyat, bangsa dan negara, bukan untuk partai. Karena menteri yang sudah bergabung dengan presiden ini sepenuhnya menjadi pembantu presiden," paparnya.
Untuk diketahui, ada 3 menteri yang berasal dari NasDem dan tergabung dalam pemerintahan Jokowi, yakni Menkominfo Johnny G Plate, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Simak pernyataan Waketum NasDem pada halaman selanjutnya.
Waketum NasDem Tuding Hasto Desak Partainya Keluar Koalisi
Waketum NasDem, Ahmad Ali, bicara terkait pernyataan Ketua Umum NasDem Surya Paloh soal adanya pihak yang meminta NasDem untuk keluar dari koalisi. Dia menyebut dugaan-dugaan itu muncul ketika NasDem memutuskan untuk mengusung Anies Baswedan menjadi capres di Pilpres 2024.
"Pernyataan Ketum marak itu tidak lepas dari ketika NasDem mengumumkan Anies sebagai capres. Itu diawali dengan ada bendera Belanda dirobek birunya," kata Ahmad Ali saat dihubungi, Kamis (20/10).
Ahmad Ali lalu menyebut narasi itu kemudian berkembang kepada suara-suara bahwa ada partai pemerintah yang mau keluar dari koalisi. Hingga pada akhirnya, kata dia, ada saran secara terang-terangan dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
"Terus kemudian ada partai pemerintah mau keluar dari koalisi, terus kemudian semakin ramai dan mulai terang-terangan katakan lah Mas Hasto kemudian meminta NasDem untuk keluar dari koalisi, ya kan?" ucap Ahmad Ali.
Ahmad Ali menyebut Hasto Kristiyanto mendorong adanya reshuffle kabinet bukan atas nama PDIP. Dia mengatakan Surya Paloh juga tidak menunjuk sosok partai, melainkan orang tertentu yang secara terang-terangan menyuarakan reshuffle kabinet.
"Kalau kemudian disampaikan Ketum kami bukan partai, tapi orang, itu tidak bisa untuk dikatakan itu, karena dikatakan secara terang-terangan," ujarnya.
Lebih lanjut, anggota Komisi III DPR ini menyebut keputusan reshuffle kabinet berada di tangan Jokowi. Dia menegaskan Jokowi tidak bisa didorong-dorong atas konteks politik apapun.
"Jadi apapun keputusan presiden tentang koalisi tidak bisa diterjemahkan dalam konteks politik, keputusan presiden tentang reshuffle dan lain-lain selalu saya lihat itu kebutuhan organisasi. Jadi ketika ada reshuffle, bukan Pak Jokowi tak suka partai ini lalu reshuffle, tapi lebih kepada efektivitas pemerintahan yang diperhitungkan," tutur dia.
(lir/imk)