Badan Pengkajian MPR: Biaya Pemilu Mahal Konsekuensi Demokrasi Liberal

Badan Pengkajian MPR: Biaya Pemilu Mahal Konsekuensi Demokrasi Liberal

Anggi Muliawati - detikNews
Rabu, 21 Sep 2022 18:52 WIB
Djarot Saiful Hidayat (Azhar Bagas Ramadhan/detikcom).
Djarot Saiful Hidayat. (Azhar Bagas Ramadhan/detikcom)
Jakarta -

Badan Pengkajian MPR mempersoalkan biaya pemilu di Indonesia yang dinilai mahal. Pimpinan Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan biaya pemilu yang mahal tersebut merupakan konsekuensi dari demokrasi liberal.

"Tadi saya sampaikan pemilu di Indonesia itu sangat mahal, biaya dari APBN itu mungkin dari Rp 100 triliun untuk KPU dan Bawaslu. Sekarang coba kita hitung biaya yang dikeluarkan oleh kandidat itu pasti lebih besar dari itu, konsekuensi dari demokrasi liberal kita," kata Djarot di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2022).

Oleh sebab itu, menurutnya, wacana pelaksanaan sistem pemilu yang tertutup dapat mengurangi biaya. Selain itu, dengan sistem pemilu yang tertutup tidak ada lagi pertarungan antar calon yang dianggap memiliki uang lebih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Maka dari pada itu kita, tadi bagus sekali Pak Hasyim Asy'ari menyampaikan kita harus berani balik ke sistem pemilu yang proporsional yang murni atau tertutup," katanya.

"Dengan itu maka tidak ada lagi pertarungan antarcalon, mereka-mereka yang sekarang ngurusin partai luar biasa, berkorban luar biasa, kemudian pada saat pencalonan itu kalah sama orang baru yang membawa duit karena amplopnya lebih tebal, ini tidak fair, maka kita dorong supaya kajian ini kita kembali ke sistem proporsional yang murni, yang tertutup," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Namun, Djarot tidak menutup kemungkinan dengan sistem pemilu tertutup tidak akan ada kasus korupsi. Dia menyebut semua kemungkinan dapat terjadi.

"Oh iya, semuanya tidak menutup kemungkinan pasti terjadi, tapi sekarang ini, ini sudah kebablasan sudah luar biasa, sudah luar biasa kalau terjadi," katanya.

Djarot mengatakan untuk Pemilu 2024, belum dapat menjalankan pemilu asimetris. Hal itu, dikarenakan sampai 2024, UU Pemilu sudah tidak dapat direvisi.

"Kalau 2024 mungkin susah ya, kita harus menyadari bahwa ini agak susah tetapi tergantung kepada DPR Komisi II, apa memungkinkan, karena kan sampai dengan 2024 UU tentang Pemilu sudah tertutup untuk direvisi, berarti kita menyiapkan kajian, untuk periode ke depan supaya kita tidak terjerembap terus dengan persoalan-persoalan demokrasi liberal individual seperti ini," tuturnya.

(rfs/rfs)



Hide Ads