Keputusan jadi cawapres Megawati mau tidak mau diambil Prabowo. Jika tidak, mantan Panglima Kostrad tersebut hanya jadi penonton di Pilpres. Soalnya, PDIP masih tetap ngotot mengusung Megawati sebagai capres.
"Posisi cawapres akhirnya kami ambil. Sebab negosiasi dengan PKS, PAN, dan PPP, di hari-hari terakhir tidak mencapai kata sepakat," jelas Wakil Sekjen Gerindra Taslim Azis di sela-sela pengumuman pasangan Mega-Prabowo di Teuku Umar, Jumat lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun satu per satu partai yang akan digandeng Gerindra, seperti PPP dan PAN akhirnya merapat ke Partai Demokrat (PD). Mau tidak mau Prabowo akhirnya memilih opsi kedua dengan menjadi cawapres dari PDIP.
Luluhnya sikap Prabowo dan Gerindra tentu disambut baik PDIP. Pasalnya, meski partai berlambang kepala banteng moncong putih itu punya kader militan, namun tidak punya cukup "gizi" untuk menghadapi pasangan lain, terutama pasangan incumbent.
"PDIP punya basis massa hingga ke pelosok-pelosok. Tapi semuanya tidak bisa bergerak karena kekurangan "gizi" (dana). Dengan masuknya Prabowo, basis PDIP di tingkat grassroots bisa giat kembali," terang anggota Bapilu DPP PDIP Budi Mulyawan.
Adanya kucuran dana segar dari Prabowo, harap Budi, bisa membuat massa PDIP yang sebelumnya terbuai dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari incumbent dapat berbalik arah.
Dikatakan Budi, salah satu faktor merosotnya perolehan suara PDIP di Pileg 2009 lantaran massa PDIP banyak yang "terbeli" BLT dan kucuran dana yang melalui program bantuan langsung dari pemerintah.
Pasangan Mega-Prabowo memang sangat berharap dukungan dari masyarakat bawah, seperti petani dan nelayan. Itu sebabnya dua partai nasionalis tersebut begitu ngotot mempersoalkan kisruhnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Akibatnya banyak massa PDIP maupun Gerindra yang tidak bisa mencontreng karena tidak terdaftar.
"Posko Gotong-Royong dan gardu Gerindra akan bersinergi untuk menarik dukungan di tingkat grassroots," ungkap Budi.
Pada pemilu 1999, posko-posko gotong-royong yang didirikan kader PDIP terbukti mampu meraih banyak dukungan massa. Sehingga PDIP berhasil menjadi pemenang Pemilu 1999 dengan perolehan lebih dari 33% suara. Kenangan manis itulah yang akan digarap ulang Mega-Prabowo.
Sementara untuk saat ini, di atas kertas pasangan Mega-Prabowo mengantongi dukungan paling tidak 20% suara yang diperoleh dari PDIP, Gerindra, dan 7 parpol yang tidak lolos PT. Dengan modal tersebut, paling tidak Mega-Prabowo berharap bisa mengulang perolehan suara Mega saat berpasangan dengan Hasyim Muzadi di Pilpres 2004.
Dukungan yang diperoleh Mega-Hasyim di putaran pertama sebanyak 26,69%. Di putaran kedua pasangan Mega-Hasyim yang mendapat bantuan dukungan Partai Golkar meraih 33,38% suara.
Nah, di Pilpres 2009, Mega-Prabowo paling tidak berharap bisa mengantongi 25%-30% untuk bisa lolos ke putaran kedua. Sebab di putaran kedua, Mega-Prabowo akan mendapat dukungan dari pasangan yang diusung Golkar-Hanura, yakni JK-Wiranto.
Pengalihan dukungan tersebut merupakan salah satu kesepakatan koalisi besar yang sudah diteken PDIP, Golkar, Gerindra, dan Hanura.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens menilai, untuk meraih dukungan minimal seperti di Pilpres 2004 bukan perkara sulit bagi PDIP. Apalagi saat ini Mega berpasangan dengan Prabowo, yang memiliki mesin politik Gerindra dan banyak dana.
Kata Boni, pilpres yang diprediksi berlangsung 2 putaran tersebut, pasangan Mega-Prabowo akan mampu meraih 30% suara di putaran pertama. Jadi Mega-Prabowo tinggal mencari 20% + 1 untuk menaklukan pasangan SBY-Boediono.
"PDIP dan Gerindra punya infrastruktur partai yang baik dan militan. Dengan dana yang besar, mesin politik PDIP dan Gerindra bisa bekerja maksimal menggalang dukungan," jelas Boni.
Namun mengenai strategi kampanye, kubu PDIP saat dimintai keterangan, enggan mengungkapkannya. Begitu juga salah satu tim sukses Prabowo yang direkrut dari Forum Parpol, M Yasin.
Mantan Sekjen Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) ini enggan memberikan info seputar strategi jitu untuk menghadapai pasangan SBY-Boediono. "Nanti saja dilihat pergerakan kita. Yang pasti kita akan total memenangkan pasangan Mega-Prabowo," jelas Yasin, yang pada pilpres 2004 jadi tim sukses SBY-JK.
Sementara bocoran yang didapat detikcom, salah satu strategi yang akan digunakan Mega-Prabowo adalah diam, melihat, kemudian bergerak. Maksudnya, tim sukses akan cenderung melihat dulu pergerakan lawan. Setelah itu baru melakukan action.
"Kita akan melihat kelalaian yang dilakukan pasangan lain dalam berkampanye, terutama SBY-Boediono. Itu salah satu celah untuk menghadapi incumbent," jelas sumber tersebut.
Hal inilah yang menjadi alasan kenapa pasangan Mega-Prabowo memilih mendeklarasikan diri di daerah kumuh. Langkah ini sebagai tandingan deklarasi SBY-Boediono di Sabuga, Bandung, yang tergolong mewah.
Selain itu, dengan deklarasi di daerah kumuh Mega-Prabowo mencoba membuktikan kalau pasangan tersebut pro wong cilik. Apalagi duet ini secara gencar mengusung ekonomi kerakyatan sebagai isu kampanyenya.
Namun menurut pengamat politik Andrinof Chaniago, pilihan isu tersebut bisa menjadi blunder bagi Mega-Prabowo. Sebab pasangan tersebut mempersempit diri pada market tertentu. "Itu hanya untuk kelas atau market tertentu, contohnya hanya untuk petani dan nelayan," jelas Andrinof saat kepada detikcom.
Selain masalah market yang terbatas, faktor waktu juga menjadi kendala bagi Mega-Prabowo. Sebab pasangan tersebut punya basis massa di daerah-daerah, terutama massa PDIP. Sehingga butuh waktu untuk menjangkaunya.
Waktu yang mepet itulah yang menjadi kendala serius bagi Mega-Prabowo untuk mendulang suara dari kalangan wong cilik.
(ddg/iy)