Hindari Konflik di Pemilu, Elit Jangan Gunakan Simbol Agama

Hindari Konflik di Pemilu, Elit Jangan Gunakan Simbol Agama

- detikNews
Kamis, 05 Mar 2009 19:36 WIB
Jakarta - Semua kalangan diminta agar tidak menggunakan simbol-simbol agama dalam politik praktis, khususnya untuk kepentingan Pemilu 2009. Sebab, hal itu bisa berpotensi memunculkan konflik antar umat beragama dan kekerasan.

"Di Indonesia, agama haruslah didorong sebagai perekat persatuan nasional. Organisasi agama dituntut berperan mewujudkan kehidupan yang damai dan mengesampingkan perbedaan-perbedaan," kata Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf dalam diskusi bertema 'Antisipasi Konflik Umat Beragama Menjelang Pemilu 2009' di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (5/3/2009).

Slamet juga berharap, agar segala perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan di antara masyarakat bukanlah suatu persoalan yang bisa meretakan perdamaian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Termasuk dalam menghadapi momentum pelaksanaan Pemilu 2009 ini," ujarnya.

Menurut Slamet, persaudaraan dan persatuan antarumat beragama dalam masyarakat majemuk sebagai wujud dari sikap toleransi dan kerukunan. Namun, itu semua bisa terwujud bila dilandasi dengan niat yang tulus, iklas serta kejujuran dari semua pihak.

Slamet menerangkan, ada beberapa peran yang bisa dimainkan para pemuka agama maupun organisasi keagamaan agar potensi konflik tidak terjadi. Di antaranya, mendorong pemerintah untuk menyelesaikan akar konflik dan kekerasan di masyarakat, seperti kemiskinan, akses pendidikan dan kesehatan
yang rendah.

Selain itu, berupaya mencegah penggunaan simbol-simbol agama dalam politik praktis. Mengupayakan kehidupan politik yang dewasa, terutama bagi elit partai politik. Juga aktif memberikan pendidikan politik pada masyarakat.

"Ini semua memang tugas masyarakat dan parpol. Tapi sayang, perhatian parpol dan elit politik terhadap masalah ini masih minim. Pengerahan massa dalam kampanye adalah bentuk pembodohan politik ketimbang mencerdaskan masyarakat," jelasnya.

Diakui Slamet, konflik di dalam masyarakat sesuatu yang tidak bisa dibantahkan karena sejalan dengan peradaban. Namun persoalannya menjadi lain bila antara pendukung parpol saling melempar isu negatif mengenai syariat partai lain.

Dari analisa yang ada, lanjut Slamet, konflik umat beragama yang berujung kekerasan dalam politik ada enam hal. Pertama, akar konflik dan kekerasan tidak pernah diselesaikan secara tuntas, yaitu kemiskinan, pendidikan dan kesehatan.

Kedua, ketidakdewasaan berpolitik para politisi di Indonesia yang lebih menonjolkan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik. Ketiga, buruknya
komunikasi politik para elit politik.

Keempat, kesadaran berpolitik masyarakat yang masih rendah. Kelima, belum termaknainya nilai-nilai demokrasi di dalam jiwa masyarakat, serta keenam, keberadaan media massa tertentu yang kurang mengindahkan prinsip-prinsip profesionalisme.

"Jangan Anda bilang itu kepentingan KPK. Karena kurang sreg sebagai kepentingan yang memaksa," tandasnya. (zal/ndr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads