Pemadu Arif Negeri Jiran

Pemadu Arif Negeri Jiran

- detikNews
Kamis, 21 Agu 2008 09:02 WIB
Jakarta - Mencari penghasilan di luar negeri merupakan impian bagi banyak warga Negara Indonesia. Kesulitan hidup, ketiadaan lapangan pekerjaan di tanah air, dan iming-iming keuntungan besar yang digambarkan agen pengiriman tenaga kerja menjadi alasan utama kepergian warga negara Indonesia ke luar negeri untuk bekerja.  

The Land of Honey. Adalah perumpamaan yang tepat bagi negara-negara tujuan para tenaga kerja asing. Taburan harapan mendapatkan banyak uang dan kehidupan yang lebih baik ibarat madu yang menggiurkan sekawanan lebah pekerja yang kelaparan.

Malaysia. Negara tetangga yang mulai menikmati kemakmurannya adalah the land of honey bagi warga Negara Indonesia. Selain kedekatan budaya, ketiadaan kendala bahasa, dan jarak yang begitu dekat dengan Indonesia, Malaysia juga menawarkan banyak peluang kerja di berbagai sektor bagi warga Negara Indonesia. Alhasil, dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun warga Negara Indonesia yang bekerja di Malaysia, atau yang dikenal dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), baik yang resmi maupun tidak telah mencapai jumlah 2 juta jiwa.  

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberadaan TKI di negeri jiran ini mempunyai berbagai keunikkan dan segudang masalah. Masalah-masalah tersebut bukan sekedar terkait dengan administrasi atau kriminalitas saja. Melainkan sudah menjadi stereotip bahwa TKI adalah kaum buruh dan pekerja kasar sebagai warga kelas rendah. Beberapa kasus mengemuka sebagai pembenaran anggapan tersebut berupa banyaknya TKI ilegal yang ditangkap, kekerasan majikan terhadap pembantu rumah tangga, dan maraknya kriminalitas yang dilakukan oleh para pendatang dari Indonesia tersebut.

Reaksi orang malaysia saat mengetahui seseorang berasal dari Indonesia tidak dapat memungkiri stereotip itu. Apalagi pemberitaan di berbagai media massa di Malaysia menggiring masyarakat untuk terus berpikir demikian. Orang Indonesia yang datang ke Malaysia hanyalah untuk mengadu nasib mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Anggapan yang sejujurnya amat kental bernuansa politis.

Jika dicemati secara mendalam anggapan seperti di atas tidak sepenuhnya muncul akibat propaganda media dan rasa nasionalime Malaysia saja. Sebagai warga negara Indonesia, kita perlu berkaca dan bertanya kepada diri sendiri, sudahkan kita berperilaku sebagai pendatang yang layak disambut baik? Ataukah datang diam-diam dengan menyelinap dan melakukan penipuan di sana-sini?

Kalaupun kita datang dengan prosedur resmi dan benar, maka apakah selama kita berada di negeri jiran ini sudah berperilaku sebagai tamu yang baik? Ataukah berkelakuan petantang-petenteng layaknya pemilik negeri? Betapa pun kepandaian dan keuletan kita dalam bekerja tidaklah berarti jika perilaku kita tidak mencerminkan seorang tamu yang menghargai tuan rumahnya.  

Perlu kita pahami bahwa agama resmi Kerajaan Malaysia adalah Islam. Meskipun bangsa Melayu yang beragama Islam tidak lebih dari 54% dari total 26 juta penduduk Malaysia. Namun, undang-undang telah menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama resmi negara. Tidak heran jika nuansa Islam secara formal dibudayakan dalam aktivitas kenegaraan dan masyarakat.

Beberapa nuansa Islam yang dibudidayakan dalam lingkup kecil misalnya, saat transaksi jual beli antara pembeli perempuan dengan pedagang laki-laki, maka sang pedagang menjaga diri agar tangannya tidak bersentuhan dengan tangan sang pembeli. Walaupun si pedagang tersebut bukan orang Melayu. Begitu pula perempuan-perempuan penjaga pintu tol, diserukan menggunakan sarung tangan untuk menjaga agar tidak bersentuhan dengan para pengemudi yang kebanyakan laki-laki.

Contoh lain adalah budaya berpakaian para wanita melayu disesuaikan dengan syariat Islam. Mereka biasa mengenakan baju kurung berlengan panjang dengan rok panjang hingga menutup mata kaki, dilengkapi kerudung penutup rambut yang terlihat sopan dan menunjukkan jati diri muslimah.

Sekolah-sekolah Kebangsaan menetapkan aturan berpakaian demikian dalam seragam resmi mereka. Pola berpakaian seperti itu juga terlihat di perkantoran pemerintah mau pun swasta dan pusat-pusat perbelanjaan.Betapa mereka sangat menjunjung tinggi budaya melayu di mana pun mereka berada.

Budaya positif lain yang bernuansa Islam juga tampak dari aturan yang mengingatkan masyarakat untuk tidak berperilaku mesum di tempat umum, semisal duduk rapat berlainan jenis di taman. Apalagi berpelukan atau berciuman, berbicara keras atau merokok di kendaraan umum, dan ucapan assalamualaikum sebagai salam resmi kenegaraan.

Beberapa papan layanan masyarakat di kota-kota besar berisi peringatan untuk menjaga akidah dari aliran sesat, perintah mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan, dan yang terbanyak adalah imbauan menghindari dadah
(narkotika) dengan penegasan diharamkan oleh syariat Islam.

Masyarakat Melayu menganggap bahwa orang Indonesia adalah bangsa serumpun yang juga beragama Islam. Mereka memandang bahwa budaya melayu yang bernuansa Islam di atas hendaknya juga diterapkan oleh para TKI yang mengadu nasib di sini. Akan tetapi patut disayangkan. Realitas justru berseberangan dengan harapan. Tidak sedikit TKI yang berprilaku sumbang di lingkungan bekerja maupun di tempat-tempat umum yang mereka datangi.

Fenomena kebebasan berpakaian dan berkelakuan tidak dipungkiri menjangkiti TKI kita di negeri jiran ini. Pendapatan yang lumayan mereka manfaatkan untuk menggubah penampilan mengikuti mode barat yang jauh dari adab kesopanan.

Di pusat-pusat perbelanjaan sering kita temui perempuan-perempuan berwajah melayu namun berpakaian sangat tidak Islami. Berkaus ketat pendek menampakkan perut atau punggungnya, celana jins ketat atau rok pendek di atas lutut, rambut tergerai tanpa kerudung. Bahkan dicat berwarna-warni, dan segala macam asesoris yang justru tidak menggambarkan perempuan baik-baik.   

Pola berpakaian demikian tentu saja membuat risih penduduk Melayu setempat. Terutama pemuka agama dan tokoh masyarakat yang menjunjung tinggi adat ke-Islaman melayu.  

TKI laki-laki juga tidak sedikit memberi andil terhadap citra negatif TKI yang berada di Malaysia. Kebiasaan merokok di tempat umum, berjalan berkelompok dan berbicara keras di transportasi umum, berambut panjang, beranting, dan penampilan layaknya seorang preman, tentu saja membuat lingkungan tidak nyaman.

Daerah yang dipenuhi dengan TKI tidak sedikit yang kondisi lingkungannya kumuh, kotor, dan semrawut. Hal ini perlu menjadi bahan renungan kita bahwa kedisiplinan bermasyarakat para TKI belum disadari dengan baik. Ditambah lagi dengan kebiasaan TKI yang enggan berbaur dengan masyarakat Melayu setempat, meskipun berakidah sama, Islam.  

Di mana-mana ada TKI, maka bermunculan paguyuban Indonesia yang bernuansa etnis atau kedaerahan. Sedikit sekali yang benar-benar berbaur dan menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah di atas rasa kedaerahannya.

Sejarah membuktikan bahwa masyarakat Melayu (Malaysia) pada awalnya banyak menaruh harap dapat bekerja sama dengan pendatang dari Indonesia dalam menegakkan budaya melayu yang bernuansa Islami.

Delegasi pendidikan dan dakwah para guru, dosen, dan ulama, dari Indonesia gencar didatangkan ke Malaysia dekade 70-an hingga 80-an. Alhasil, tingkat pendidikan Malaysia meningkat secara signifikan berkat --salah satunya, peran para pendidik dari Indonesia tersebut.  

Kepercayaan dan harapan terus bertambah dengan dibukanya secara besar-besaran kesempatan bekerja bagi warga negera Indonesia ke Malaysia. Tenaga-tenaga ahli di bebagai bidang seringkali diprioritaskan dari Indonesia dibanding negara lain.

Peluang TKI menjadi buruh konstruksi, pekerja perkebunan kelapa sawit, pekerja pabrik, dan pembantu rumah tangga menyusul dibuka dengan lebarnya oleh Pemerintah Malaysia di awal 90-an. Isu kesenjangan politik antara Melayu dan non Melayu (baca: keturunan Cina dan India) menjadi daya pendorong pembukaan kesempatan pekerjaan tersebut bagi TKI yang dianggap akan menambah kuantitas dan kualitas Melayu di Malaysia.

Bisa dibayangkan, harapan dan pandangan sedemikian besar masyarakat Melayu, ternyata tidak seimbang dengan fenomena perilaku yang banyak dilakukan para TKI saat ini. Kekecewaan demi kekecewaan berbuah kepada stereotip negatif bagi bangsa Indonesia pendatang.  

Tidak peduli mereka pekerja profesional atau pekerja kasar, diberi julukan yang sama Indon. Sebuah sebutan penggalan dari kata Indonesia, yang nuansanya melecehkan. Jika kita membaca surat kabar di Malaysia, manakala disebutkan kata Indon, maka seakan-akan tergambar seorang pendatang miskin, kurang pendidikan, kurang keahlian dari Indonesia yang mengadu nasib mencari pekerjaan apa saja yang menghasilkan uang di Malaysia.

Beritanya hampir dapat dipastikan mengenai kasus kriminalitas, ketidakdisiplinan bermasyarakat, konflik dengan majikan, dan sebagainya. Meskipun berita-berita tersebut tidak sepenuhnya benar, akan tetapi kita perlu kembali instrospeksi, sudahkah kita berperilaku layaknya sebagai seorang tamu yang baik dan layak dihormati?  

Jika kita sudah yakin bahwa kita telah berperilaku baik selayaknya tamu terhormat dan menjunjung tinggi harga diri dan bangsa. Maka detik ini juga kita tunjukkan martabat kita. Kita bukanlah pengadu nasib yang mengemis belas kasihan majikan. Kita adalah pemadu arif yang memadukan dua bangsa muslim bersaudara Indonesia dan Malaysia.

M Farlina Limarwangi
A-2-9 Mandy Villa Condo
Jalan Segambut Tengah Kuala Lumpur
mfarlina@yahoo.com
+60176629952

(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads