Antisipasi dan Mitigasi Bencana

Fenomena Pemanasan Global, El Nino, dan La Nina (Bagian II)

Antisipasi dan Mitigasi Bencana

- detikNews
Rabu, 06 Feb 2008 17:23 WIB
Jakarta - Opini ini merupakan bagian kedua, dari Banjir: Fenomena Pemanasan Global, El Nino, dan La Nina. Bagian Kedua ini ditulis oleh Sdr. Cornelia Susianti, yang ikut menikmati banjir 2002, 2007 dan 2008.

Pada bagian pertama dari tulisan Fenomena Pemanasan Global, El Nino, dan La Nina dikatakan bahwa pemanasan global merupakan fenomena alami yang telah mengalami percepatan sejak dimulainya era revolusi industri pada abad 18. Beberapa catatan bencana selama 10 tahun terakhir di Indonesia adalah sebagian bukti bahwa pemanasan global mulai menunjukkan 'wajah'-nya.

Diawali dengan banjir pada tahun 1996, kemarau panjang tahun 1997-1998, kembalinya banjir pada tahun 2002, dan kemarau panjang pada tahun 2006, banjir di awal tahun 2007 dan yang terakhir banjir di awal tahun 2008. Pertanyaan selanjutnya, inikah bentuk "warisan" yang kita berikan pada anak cucu kita?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banjir
Sebagai anggota masyarakat yang ikut merasakan derita bencana banjir 2002, 2007, dan 2008, walau tidak selalu tepat, informasi akan datangnya banjir dapat diperoleh dari berbagai media. Namun, informasi dampak dari berubahnya tata guna lahan, semakin sempitnya daerah resapan, tumpukan sampah-sampah di kali dan tersumbatnya saluran-saluran air merupakan hal yang tertutup oleh pesatnya pembangunan Ibu Kota Jakarta dan wilayah sekitar (Bogor, Tangerang, Bekasi, Karawang). Pada akhirnya mengakibatkan banjir di Jakarta dan sekitarnya di luar prakiraan siklus tiap 5 tahun.

Tidak seperti banjir pada tahun 2002 dan 2007, banjir kiriman menjadi istilah yang akrab bagi telinga kita. Banjir 2008 lebih menunjukkan buruknya sistem drainase dan tata guna lahan di ibu kota.

Data pemantauan menunjukkan permukaan tanah di Jakarta turun dari waktu ke waktu akibat beban di atas permukaan dan eksploitasi air tanah yang berlebihan. Namun, yang kita lihat adalah gedung-gedung tinggi dan prasarana belanja canggih baru serta perumahan mewah dengan slogan bebas banjir bermunculan di berbagai pelosok.

Telah menjadi rahasia umum bahwa tatkala aspek lingkungan menjadi halangan bagi kepentingan nasional, daerah, swasta, maupun individu tertentu, aspek lingkunganlah yang harus mengalah, karena aspek lingkungan merupakan hal yang tidak dirasakan secara langsung. Tidak seperti kita melihat gedung-gedung baru berlomba-lomba mencapai langit. Namun, saat banjir menghampiri, corong-corong suara berlomba nyaring menyuarakan pentingnya aspek lingkungan dalam pembangunan.

Apakah ini ciri khas masyarakat kita, yang sulit untuk belajar dari pengalaman, yang berpikiran pendek untuk kepentingan sesaat, yang tidak memperhitungkan akibatnya yang akan datang dan yang gampang lupa setelah bencana berlalu?

Pengelolaan Sumber Daya Air
Beda halnya dengan Jakarta atau kota besar lainnya. Sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan sumur sebagai sumber air sehari-hari. Meningkatnya curah hujan dapat dipandang sebagai berkah tapi sekaligus bencana jika tidak dikelola dengan baik.

Sebagai berkah, karena air hujan tersebut dapat menjadi simpanan dalam menghadapi musim kemarau panjang dan sebagai bencana banjir jika tidak dikelola dengan baik. Menghadapi musim kemarau panjang, pengelolaan sumber daya air yang baik merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi.

Pembuatan bendungan yang disamping sebagai pengendali banjir, pembangkit tenaga listrik, juga sebagai sumber air baku yang penting di kala musim kemarau panjang. Namun, sayangnya bendungan di negara-negara berkembang juga berfungsi sebagai fasilitas pengolahan air buangan massal baik rumah tangga maupun industri, yang mengakibatkan tidak layaknya air bendungan tersebut digunakan sebagai air baku rumah tangga.

Banyaknya masyarakat yang tidak perduli bahkan antipati pada prakiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) haruslah segera diubah. Keberadaan BMG akan menjadi tumpuan kita dalam mencari informasi tentang prakirain bencana.

Sebagai contoh, Jakarta sebagai daerah yang berpotensi bencana banjir pada tahun 2008 (Februari-April) telah diprakirakan oleh BMG (http://www.bmg.go.id). Memfasilitasi BMG dengan infrastuktur dan teknologi terkini, yang tentunya didukung pula oleh sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan hal penting dalam mitigasi bencana di masa yang akan datang.

Terlepas dari pentingnya perbaikan dan pembangunan infrastruktur dan teknologi dalam pengelolaan bencana, hal terpenting dalam antisipasi dan mitigasi bencana adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup.

Mulai diajarkannya mata pelajaran lingkungan hidup pada tingkat sekolah dasar merupakan suatu kebijakan yang tepat dalam menanamkan rasa peduli lingkungan sejak usia muda dan sekaligus memperkenalkan jenis dan bentuk 'warisan' bencana dari pendahulu-pendahulu mereka. Warisan yang mungkin akan mereka terima di masa depan sebagai akibat kecerobohan dalam memperlakukan lingkungan hidup.

Cornelia Susianti (Environmental Scientist)
Jl Cipinang Muara III/20 Jakarta 13420
daily_liacornelia@yahoo.com
081932564644
Β Kian Siong, PhD (JSPS Fellow)
Department of Environmental Science and Human Engineering
Saitama University Japan
siong@mail.saitama-u.ac.jp
(msh/msh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads