Jadi, pemerintah dalam hal ini lebih merupakan wakil dari rakyat, bukan sebagai pemilik, karena pemilik yang sesungguhnya adalah rakyat itu sendiri. Karena bukan pemilik, pemerintah tidak berhak untuk menyerahkan pengelolaan sumber daya alam itu kepada orang tertentu. Apalagi pihak asing.
Pemerintah juga tidak berhak bertindak seolah-olah sebagai penjual. Apalagi menempatkan rakyat sebagai pembeli. Bagaimana mungkin sang pemilik harus membeli miliknya sendiri. Apalagi membeli dari orang asing di halaman rumah sendiri? Kalau demikian, sikap pemerintah menaikkan harga BBM ini untuk rakyat ataukah pihak asing?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk hal tersebut kita patut mencontoh Bolivia yaitu, di mana Presiden Bolivia Evo Morales, mengumumkan negara kembali mengontrol semua bisnis asing, khususnya migas.
Sebanyak 12 perusahaan asing telah bersedia menandatangani kontrak migas baru (baca: koran Kompas, 04/05/2007). Kontrol yang paling menonjol adalah bisnis minyak dan gas yang selama ini dikuasai asing. Keturunan Indian Quechua ini disebut berhasil menaklukkan para Goliat, julukan raksasa minyak asing yang ditakuti.
Kontrol tersebut berlaku secara resmi sejak 1 Mei, atau setahun sejak Morales mendeklarasikan hal tersebut. Sebagian bisnis migas sudah dikuasai sebelum 1 Mei 2007. Dengan pengumuman Morales itu, perusahaan minyak negara Bolivia, YPFB (Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos, mirip Pertamina) akan mengontrol semua kekayaan alam dan gas. Presiden YPBF Guillermo Aruquipa mengatakan, negara sudah resmi menjadi pemilik semua kekayaan gas dan minyak.
Perwakilan perusahaan minyak asing lain yang telah bersedia menandatangani adalah Petrobras (Brasil), Total Fina Elf (Perancis Belgia), British Gas (Inggris). Dengan kontrak baru itu, semua perusahaan asing harus menyetor 82 persen dari penerimaan (bukan total laba) ke YPBF dan hanya 18 persen untuk perusahaan asing sebagai operator eksplorasi minyak.
Dengan kontrol negara tersebut, YPBF juga dengan leluasa mengontrol praktik penipuan keuangan yang umum dilakukan perusahaan asing, yang bertujuan mengelabui negara tempatnya beroperasi. Usaha migas asing di Indonesia jauh lebih enak, karena menerima 15 persen dari total laba (penerimaan dikurangi biaya).
Kritisnya sikap masyarakat itu, terutama kalangan kampus, sesungguhnya disertai dengan gugatan pertanyaan, siapa yang membuat ekonomi Indonesia terjajah atau menjadi salah satu target dari misi Amerika Serikat untuk meraih kekuasaan? Untuk menjawab siapa yang menjajah dan siapa kaki tangan penjajah ekonomi itu, indikator yang menunjukkan perekonomian suatu bangsa terjajah perlu dikemukakan lebih dulu, dapat diukur dengan lima indikator:
Pertama, kepemilikan sumber daya, produksi, dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan sektor pangan, enerji keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.
Model Amerika menjelang Orde Lama berakhir dan di awal-awal Orde Baru berkuasa, ada hal yang menarik. Mengapa pada era Soekarno ladang minyak di Riau yang dikuasai dan diproduksi Caltex tidak termasuk yang dinasionalisasi dan apa yang melatarbelakangi ladang emas di Irian Jaya diberikan ke Freeport. Dua pertanyaan ini terjawab bahwa tidak mungkin urusan ekonomi terutama yang berkaitan dengan sumber daya terpisah dan bebas pengaruh urusan politik.
Kini setelah sembilan tahun Indonesia "memenuhi anjuran" dan mengadopsi model politik Amerika, sumber daya ekonomi Indonesia --pertambangan, perkebunan, properti, dikuasai, diproduksi, dan akhirnya dinikmati oleh pihak asing. Kondisi ini tidak banyak berbeda saat Indonesia di bawah jajahan VOC, hanya dulu VOC lebih fokus pada hasil bumi (perkebunan) dan mulai beralih ke pertambangan setelah memasuki abad 20.
Demikian juga dengan siapa produsen dan distributor barang dan jasa primer dan sekunder. Ukurannya terlihat pada banyaknya jumlah perusahaan asing dari 200 korporasi besar di Indonesia, yakni sekitar 70%. Kini bukan saja perusahaan distribusi seperti Unilever yang berjaya, perusahaan logistik pun didominasi asing. Lihatlah Fedex dan DHL serta tuntutan meliberalisasi sektor ini.
Indikator kedua soal ketergantungan Indonesia pada impor enerji (minyak mentah/crude oil maupun minyak olahan/oil product), impor bahan pangan (beras, gula, kedelai), ketergantungan pada modal asing, dan dominannya asing di sektor keuangan (bank, asuransi, jumlah dana di pasar modal, dan perusahaan sekuritas), dan dominannya asing dalam memiliki, membangun, dan mengelola proyek infrastruktur (enerji, telekomunikasi dan transportasi).
Secara umum, masyarakat awam paham bahwa enerji dan telekomunikasi dikuasai asing. Tetapi, begitu masuk ke sektor transportasi, kening langsung berkerut. Secara sistemik hal ini terstruktur sejak upaya Jepang "merayu" Indonesia membangun infrastruktur transportasi (underpass, flyover, double-double track, Jakarta Monorail, Subway) melalui utang luar negeri hingga ke strategi memasarkan sepeda motor, mobil, dan industri manufaktur lainnya. Ini membuktikan, sistem dan strategi transportasi kita ditentukan oleh Jepang.
Lihatlah jalan raya, home appliance, juga mesin-mesin pengolahan nyaris 90% berasal dari Jepang. Penguasa kedua bidang transportasi adalah AS dengan strategi Low Cost Carrier untuk industri penerbangan.
Banyak orang tidak sadar bahwa strategi ini sebenarnya telah mentransfer surplus perekonomian nasional ke AS disebabkan pemerintah Indonesia gagal membangun dan menyediakan layanan transportasi publik. Untuk industri perkeretaapian bahkan pemerintah gagal merawatnya sehingga banyak terjadi kecelakaan KA.
Karena pada hakekatnya perilaku ekonomi selalu serakah maka wujud nyata kelembagaannya adalah kartel bila tidak memonopoli. Itu berarti penguasa sektor enerji, pangan, keuangan, industri manufaktur tidak akan rela melepas barang atau jasanya melalui pihak lain.
Dengan berbagai strategi dan model mereka membangun kelembagaan sehingga produsen barang dan jasa primer dan sekunder di tangan mereka. Itulah yang tampak pada industri migas, telekomunikasi, dan transportasi. Artinya indikator ketiga pun dikuasai oleh asing.
Jika pada era Orba liberalisasi perekonomian masih malu-malu maka setelah reformasi Konsensus Washington malah menjadi sumber utama inspirasi kebijakan. David CL Nellor, mantan Kepala Perwakilan IMF di Indonesia tegas-tegas menganjurkan agar Indonesia menerapkan liberalisasi, privatisasi, dan disiplin fiskal.
Katanya dalam sebuah wawancara di sebuah harian di Jakarta menjelang akhir tugasnya, jika Indonesia kesulitan pendanaan APBN, terbuka peluang besar melakukan pinjaman luar negeri, menerbitkan SUN, dan privatisasi. Anjuran Nellor ini sekadar membuktikan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia yang diterapkan sejak liberalisasi perbankan Juni 1983 dan Oktober 1988 sebenarnya bersumber dari "anjuran" IMF, Bank
Dunia, ADB, dan negara-negara yang menjadi lintah darat (kreditor).
Anjuran itu pula yang menegaskan bahwa daulat ekonomi Indonesia di tangan mereka.
Lihatlah berapa banyak UU yang dibuat dengan "naskah akademik" dari mereka. UU Kelistrikan, UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Lembaga Penjaminan Simpanan merupakan sebagian bukti dari kuatnya cengkeraman mereka.
Hendri
Jl Pondok Jaya Jakarta Selatan
dony_ler@yahoo.com
08569140695
(msh/msh)