Sejak awal telah disadari perlunya penyediaan kebutuhan dasar. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dijamin dalam konstitusi. Ini merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan warganegara. Perspektif HAM atas penyediaan kebutuhan dasar juga dipertegas pada level global.
Pada November 2002, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mendeklarasikan akses terhadap sumber daya alam merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deklarasi PBB ini tidak menyebut secara eksplisit tentang privatisasi, guna menghindari konflik terbuka dengan negara maju yang mendukung privatisasi. Namun, deklarasi ini bermakna penyediaan kebutuhan dasar oleh pemerintah adalah pilihan terbaik atas sumber daya yang terbatas. Serta komoditas publik yang fundamental bagi kesehatan dan kehidupan (Social Watch Report, 2003).
Komisi PBB Untuk HAM (UNHCR) juga menyerukan agar negara-negara anggota WTO mempertimbangkan dampak liberalisasi perdagangan terhadap penyediaan kebutuhan dasar publik, pendidikan, dan kesehatan. IMF dan World Bank sebagai institusi dalam sistem PBB sejak 1947 seharusnya mengikuti deklarasi tersebut.
Jika privatisasi dan dampaknya berlangsung sebagaimana digambarkan di atas (dampak dan konsekwensi akibat privatisasi dijelaskan di bawah), tentu akan menimbulkan gejolak sosial serta biaya ekonomi dan sosial yang sangat besar. Untuk itu, DPR harus memberikan perhatian penuh pada persoalan ini dan tegas mempertimbangkan amanat konstitusi. Selain harus bangkit, Indonesia juga diharapkan berdaulat.
Implementasi produk vital yang menguasai hayat hidup orang banyak dan harus dilindungi dan dikuasai oleh Negara dari Pasal 33 UUD 1945 tersebut di atas adalah:
1. Hasil bumi (Minyak, Gas, Tambang batu bara, emas, timah, dlsb.)
2. Air
3. Listrik
4. Telekomunikasi
5. Pelabuhan–pelabuhan
6. Hutan-hutan
Berikut ini beberapa contoh mengenai dampak/konsekuensi dari privatisasi:
1. Konsekuensi Privatisasi Minyak dan Gas
Memang, sesungguhnya problem kelangkaan BBM ini pangkalnya adalah rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah, sebagaimana yang tercermin dalam UU No 2 Tahun 2005, yang membuka terjadinya privatisasi pengelolaan minyak, serta memberikan hak/kewenangan kepada berbagai pihak/perusahaan multinasional, nasional, regional, maupun lokal untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak.
Bahkan, dibiarkan untuk menetapkan harga dan ini menyebabkan mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk". Karena sejak semula diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, tidak aneh jika hampir semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika.
Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) berikut, "USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform." Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, "The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000" (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat disaksikan betapa telah sangat jauhnya pihak asing, khususnya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia. Selain itu, disadari atau tidak, dapat disaksikan pula betapa telah sangat berkembang tradisi untuk menyerahkan penyusunan rancangan undang-undang (RUU) kepada pihak asing.
Dan meskipun harga minyak dunia menembus US $ 100 per barel. Indonesia, sebagai negara penghasil minyak tidak bisa mencicipi kenaikan ini. Indonesia justru menangis dan kalang kabut menutupi defisit anggaran APBN yang semakin melambung.
Banyak kalangan berpendapat bahwa hal ini disebabkan sumber daya alam kita dirampok bangsa asing lewat perusahaan-perusahaan tambang mereka yang ada di negeri ini. ExxonMobil, Chevron, Total Indonesia, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, Texaco, dan beberapa perusahaan kontraktor independent.
Selebihnya Pemerintah kita dituduh telah menjual kekayaan alam ini tidak untuk kemakmuran rakyat, atau hajat hidup orang banyak, padahal di UUD 1945 pasal 33 sudah di jelaskan.
2. Konsekuensi Privatisasi air
Peran pengelolaan air tidak dapat diberikan pada swasta yang menaruh keuntungan sebagai tujuan pertama (profit first). Privatisasi akan membuat akses masyarakat terhadap air terbatas dan mahal. Karena seluruh biaya pengelolaan dan perawatan jaringan air dan sumber air lainnya bergantung semata pada pemakai dalam bentuk tarif. Privatisasi di berbagai negara juga menunjukkan fenomena monopoli baru dan harga yang meningkat beberapa kali lipat.
Kebijakan untuk mendorong adanya privatisasi ini dilakukan oleh IMF, World Bank dan IDB. Pinjaman dengan prasyarat pelaksanaan privatisasi didesakkan oleh World Bank di sejumlah negara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan seperti Maroko, Bolivia, Bulgaria, Filipina, Afrika Selatan, sejumlah negara Asia Selatan dan Indonesia.
Social Watch (2003) mencatat di Bolivia merupakan satu contoh kasus privatisasi yang didiktekan secara gamblang dan ternyata bertujuan untuk menaikkan tarif air.
Pengalaman itu menunjukkan privatisasi mengarah pada memburuknya kualitas penyediaan air, tarif yang meningkat serta makin terbatasnya akses petani dan masyarakat pedesaan terhadap sumber air. Masyarakat miskin adalah kelompok yang paling menderita karena privatisasi hanya menjangkau kelompok yang mampu membayar.
Pengalaman buruk tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan lembaga donor. Kini agenda tersebut diteruskan di Indonesia. Kepada siapa privatisasi yang sistematis dan dipaksakan ini diabdikan? Kalau kita melihat privatisasi air minum di sejumlah negara berkembang, hanya sekelompok kecil 6-8 perusahaan multinasional yang menguasai.
Contohnya Suez-Lyonaise dan Thames Water di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Filipina. Dengan situasi perekonomian nasional yang memburuk kini, hanya sekelompok perusahaan raksasa inilah yang akan menguasai pengelolaan air di masa depan.
Bisnis air ibarat bisnis minyak. Setiap orang sebagai pengguna air merupakan pangsa pasar. Ini mendorong keinginan yang kuat dan tersembunyi perusahaan raksasa melalui lembaga keuangan internasional untuk menguasai. Seperti dikatakan Vice President World Bank, Ismail Serageldin "Perang di masa depan akan menyangkut air".
Privatisasi pengeloaan air yang didorong World Bank menambah daftar panjang tudingan bahwa lembaga itu dan lembaga keuangan multinasional lainnya bekerja untuk kepentingan perusahaan multinasional (MNC/TNC) dan negara donor semata.
Pengalaman buruk rakyat tampaknya tidak menjadi perhatian lembaga donor itu. IMF berperan menciptakan kondisi dan tekanan agar privatisasi dalam penyediaan fasilitas publik dan jasa harus dibuka pada swasta. LoI IMF dan Pemerintah Indonesia yang mensyaratkan pencabutan subsidi seluas mungkin, dan masuknya investasi asing menjadi pintu masuk investasi asing pada air.
Dalam hal penyediaan air bersih swasta akan memilih untuk melayani daerah-daerah yang menguntungkan. Daerah-daerah di luar P Jawa yang terpencil-yang membutuhkan biaya pembangunan jaringan air yang besar-tentunya bukan prioritas kecuali dengan tarif tinggi. Kawasan Timur Indonesia yang tertinggal dan termasuk sulit air tentunya akan semakin jauh tertinggal.
Pengalaman privatisasi air di sejumlah negara juga tidak menunjukkan peningkatan kualitas dan efisiensi. Penyediaan air minum di wilayah Jakarta jauh lebih buruk setelah diprivatisasi kepada PT. Lyonaise dan PT. Thames.
Ini bertolak belakang dengan asumsi World Bank dan IMF. Privatisasi ternyata bukanlah jawaban atas kinerja yang buruk dari manajemen pemerintah. Lalu apa tugas PT. PAM yang nota bene tadinya adalah salah satu BUMN yang tugasnya adalah pengelolaan sumber-sumber air untuk kemakmuran setiap orang di muka bumi Indonesia.
Tetapi, sekarang juga sudah diubah bentuk atau diprivatisasi menjadi perseroan yang semata-mata mencari untung. Maka berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat (2) tersebut di atas, peran swasta dalam usaha penyediaan air tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.
3. Konsekuensi Privatisasi Listrik
Masalah yang menyangkut keterlibatan peran swasta dan koperasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik bermula dalam usaha penyediaan tenaga listrik bermula dengan adanya ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1958 tentang Ketenagalistrikan yang menyebutkan:
"Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata dan untuk meningkatkan kemampuan Negara dalam hal penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2). Baik untuk kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan Negara, dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan izin usaha ketenagalistrikan".
Kehadiran swasta dalam usaha penyediaan tenaga listrik berbeda dengan kehadiran koperasi meskipun kedua badan tersebut sama sama bukan badan usaha yang dimiliki atau yang di kuasai Negara. Meskipun peran swasta dan koperasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) tersebut sama sama untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik, tetapi hal yang membedakan kehadiran kedua badan usaha tersebut adalah dampak atau akibat yang mungkin terjadi atau kehadiran badan usaha itu sendiri.
Koperasi sebagai badan usaha yang dimaksud dalam sistem perekonomian Indonesia, tidak akan pernah melakukan usaha pada skala keekonomian yang dapat mengganggu atau merugikan kepentingan Negara. Akan tetapi, usaha penyediaan tenaga listrik oleh pihak swasta dapat mempunyai dampak yang sangat besar yang juga mengganggu perekonomian nasional.
Kehadiran swasta telah menjadi pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil pemeriksaan resmi BPKP telah mengakibatkan kerugian Negara sebagaimana dikhawatirkan dalam pasal 7 ayat(2) UU No. 15 Tahun 1985.
Dan memang sangat dimaklumi bahwa kehadiran pihak swasta adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dengan tujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dan ini membawa dampak harga jual tariff daya listrik (TDL) kepada konsumen/masyarakat.
Masalah tarif daya listrik (TDL) yang berkembang di masyarakat sesungguhnya adalah masalah transparansi. Masyarakat akan dapat mengerti berapa pun harga yang ditetapkan oleh Pemerintah apabila semua komponen harga dalam penetapan TDL tersebut dapat diketahui sebenarnya oleh masyarakat. Selama ini kenaikan TDL, selalu dikaitkan dengan meningkatnya biaya operasi.
Namun, tidak ada kejelasan yang dapat diketahui oleh masyarakat mengenai biaya operasi yang wajar yang sebenarnya. Dan tidak pernah ada penjelasan dari Pemerintah bahwa kemahalan biaya operasi PLN adalah akibat kontrak-kontrak KKN pasokan listrik swasta dalam hal ini PT. Paiton Energy Company (Consorsium), PT. Batu Hitam Perkasa (Mitra local PT PEC dalam rangka pasokan batubara ke Paiton I dan II), MEC International B.V. Mitsui Co. (MEC) dan General Electric Power Funding Co.(GEPF).
Kecuali PT. BHP, kontraktor-kontraktor tersebut adalah Perusahaan USA (Amerika Serikat) dan jangka waktu kontrak dengan PLN adalah 30 tahun, yakni dari tanggal 21 April 1995 s/d 21 April 2025 (jangka waktu kontrak yang cukup fantastis).
Pembelian bahan bakar menjadi faktor yang sangat menentukan tingginya biaya operasi PLN yang tidak pernah di jelaskan secara gamblang dan transparan kepada masyarakat. Padahal sudah ada kebijakan dan ketentuan untuk menyetor iuran eksplorasi dan eksploitasi hasil produksi perusahaan-perusahaan tambang batu-bara sebesar 13,5% (royalti pemerintah) dari total hasil produksi swasta ke PT. Tambang Batubara Bukit Asam (BUMN) c/q Negara/Pemerintah dan tentunya dapat memberikan subsidi kepada PLN (BUMN) untuk kebutuhan bahan bakarnya.
Akan tetapi sebaliknya Mentamben pada waktu itu malah mengalihkan hak iuran (royalty) 13,5% kepada PT. Batu Hitam Perkasa dan ini menjadi beban biaya PLN secara berganda (double charge). Ini belum termasuk beban kontrak-kontrak di luar pembangkit listrik yang sarat akan KKN dan pencurian listrik yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar dan sebagian masyarakat pengguna.
Dari kesimpulan tersebut maka jangan harap masyarakat akan memproleh pasokan harga jual listrik (TDL) murah dan stabil harganya. Akan tetapi dapat dipastikan akan menjadi beban berat bagi PLN, sehingga kewajiban PLN membayar kontrak-kontrak KKN tersebut.
Maka harga listrik akan terus naik dari tahun ketahun karena dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai KKN pihak swasta dengan penguasa pada masa Orde Baru dan masa sekarang (Lihat "Listrik untuk kesejahteraan rakyat" oleh Ir Batara Lumban Radja Msc).
4. Konsekuensi Privatisasi Telekomunikasi
Restrukturisasi dalam konteks pembangunan telekomunikasi di Indonesia dapat dilihat sebagai upaya untuk menggeser spektrum dari pasar monopolis ke pasar persaingan.
Jika hanya dilihat dari kepentingan untuk menambah jumlah penawaran, dan keyakinan bahwa banyak pihak swasta dapat menyelenggarakan layanan, uraian di atas dapat juga menjelaskan mengapa pergeseran struktur pasar sektor telekomunikasi hampir selalu diikuti dengan privatisasi.
Namun demikian, dalam kenyataannya, alasan privatisasi perusahaan BUMN telekomunikasi di Indonesia lebih diwarnai oleh motivasi untuk menutup defisit fiskal dari pada upaya restrukturisasi. Hal ini terlihat ketika Pemerintahan Megawati dapat pemasukan Rp 5,62 triliun.
Pada waktu STT (Temasek) memenangkan tender divestasi PT Indosat padahal Scherer dan Ross dalam Industrial Market Structure And Economic Performance (1990) menjelaskan bahwa pada gilirannya struktur pasar akan mempengaruhi tingkah laku (conduct) pelaku pasar. Terutama dalam hal sikapnya terhadap kebijakan harga, strategi pengembangan usaha, serta reaksi terhadap regulasi.
Tingkah laku yang diwujudkan dalam strategi maupun operasional baik secara individu maupun agregat akan mempengaruhi kinerja (performance) perusahaan maupun perekonomian. Dalam konteks ini akan terlihat apakah pasar sudah efisien atau masih banyak kemubasiran (dead weight loss) yang sengaja atau tidak diciptakan oleh pelaku pasar.
Dengan alur pikir di atas, diskursus mengenai struktur pasar dan kinerja sektor telekomunikasi, mau tidak mau akan bersinggungan dengan kebijakan publik. Seperti misalnya perizinan, perpajakan, standar peralatan, dan layanan, interkoneksi, penetapan tarif, kompetisi versus monopoli, dan lain–lain.
Hal ini diperkuat oleh masih adanya anggapan bahwa telekomunikasi tergolong sektor strategis yang pengelolaannya membutuhkan keterlibatan intensif pemerintah dalam bentuk pengawasan dan pengaturan. Akan tetapi dampak yang jelas-jelas akan dilanda Indonesia adalah ketika telekomunikasi itu bukan hanya Indosat saja yang telah berhasil digaet oleh Temasek, tapi juga dipastikan bakal menjadi raja di bisnis telepon seluler Indonesia.
Maklum, sebelumnya, melalui Singapore Telecommunications Limited (SingTel), grup usaha yang dipimpin menantu mantan PM Lee Kuan Yew itu telah menguasai 35% saham PT Telkomsel. Padahal, semua orang tahu, Telkomsel menjadi raja karena menguasai 54% pangsa pasar seluler. Sedangkan Indosat melalui PT Satelindo dengan penguasaan pangsa sebesar 29%. Alhasil, kalau ditotal, 83% pasar seluler kini berada di bawah kontrol Temasek.
Kondisi ini sebenarnya sudah lama diketahui publik sehingga mengundang pro dan kontra yang cukup seru. Berbagai kalangan yang terdiri dari mahasiswa, politisi, bahkan karyawan Indosat sendiri waktu itu melakukan demonstrasi menolak penjualan tersebut. Selain ada indikasi motivasi untuk menutup defisit fiskal daripada upaya restrukturisasi juga indikasi sarat dengan KKN.
Bahkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU pagi-pagi sudah mencurigai kemungkinan terjadinya praktik bisnis yang bisa merugikan jutaan konsumen. Penguasaan dominan oleh Temasek otomatis akan berakibat pada pengendalian harga. Akhirnya rakyatlah yang harus menanggung, kata Didik J Rachbini, salah seorang anggota KPPU.
Belum dihitung dampak indikasi monopoli layanan tarif komunikasi dan kerahasiaan data–data atau komunikasi rakyat dan Negara Indonesia yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh negara lain karena penguasaan atau privatisasi usaha telekomunikasi yang dimiliki oleh asing.
Hendri
Jl Pondok Jaya Jakarta Selatan
dony_ler@yahoo.com
08569140695
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini