Untold Story Pak Harto

Untold Story Pak Harto

- detikNews
Rabu, 16 Jan 2008 07:09 WIB
Jakarta - Untold Story: Neraka Rezim Soeharto

Judul di atas bukanlan bikinan saya tetapi judul sebuah buku tipis (15 + xi halaman) yang kemudian diikuti sub-judul "Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru" susunan Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto, Spasi & VHRBook, Jakarta, 2007.

Bagi yang mengenal kekejaman rezim Orba, apalagi bagi mereka yang pernah menjadi tapol Orba, dari sebagian daftar isinya dapat membayangkan apa kira-kira kisah di dalamnya: Bab I Rumah Setan di Gunung Sahari; Bab II Rumah Hantu di Menteng Atas; Bab III Kekejaman di Kremlin [Kramat Lima]; Bab IV Jeritan di Rumah Meester Cornelis; Bab V Horor di Gang Buntu; dan seterusnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua penulis muda ini tidak sedang bercerita tentang kisah horor yang banyak muncul di televisi belakangan ini. Tetapi, tentang kekejaman yang dialami para tapol, para terculik yang dilakukan rezim militer Orba Suharto sejak 1965 sampai 1998, bagian dari sejarah kelam horor.

Rumah Setan di Gunung Sahari terletak di Gunungsahari III. Sebuah rumah besar milik seorang Tionghoa yang dirampas dan dijadikan markas Operasi Kalong setelah tragedi 1 Oktober 1965. Operasi di bawah Mayor Suroso ini pula yang berhasil menangkap orang keempat PKI Sudisman karena pengkhianatan kawan dekat dan pembantunya.

Algojo yang bernama Letnan Bob tersohor kekejamannya. Setiap tapol di Jakarta gemetar jika dibon olehnya ke markas Kalong. Alat penyiksa standar berupa pentungan kayu dan karet, buntut ikan pari yang dipasangi paku kecil, kabel dengan lempeng-lempeng yang dialiri listrik.

Setiap tapol baru dikejutkan dan dihancurkan mentalnya dengan siksaan alat-alat tersebut, apapun yang diakuinya. Sengatan listrik merupakan ujung kekuatan seorang pesakitan berakhir. Setiap tapol perempuan diperiksa dengan telanjang bulat, demikian juga dengan interogatornya.

Di Kalong tersohor pula legenda seorang aktivis Gerwani bernama Sri Ambar yang tetap bungkam meski telah disiksa dengan gebukan, setruman, kemudian digantung telanjang bulat di pohon mangga.

Bokongnya kemudian ditusuk bayonet oleh seorang tentara penyiksa. Siksaan berlanjut dengan didatangkannya ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil (ketiganya juga ditahan) untuk menyaksikannya.

Seorang pemuda tapol yang kuat badannya berumur sekitar 30 tahun disiksa habis-habisan dengan gebukan dan sengatan listrik di markas Zinpur 8. Ia juga digantung selama seminggu di Lenteng Agung, banyak bagian badannya mengucurkan darah karena diiris silet. Luka itu kemudian disiram bensin.

Ia pun menjadi sasaran latihan lemparan pisau komando. Pada suatu malam badannya ditembus tiga peluru, karena keterangannya masih diperlukan, ia dibawa ke RSPAD Gatot Subroto dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 10 liter.

Dalam keadaan masih sakit, ia berkali-kali diinterogasi, bahkan dengan disetrum. Ia kemudian dilemparkan ke sel Kodim 0505 Jatinegara, salah satu tempat penyiksaan tapol. Dalam sel 5x6 meter itu ia berjubel bersama 200 tapol lainnya.

Di bagian akhir terdapat kesaksian sejumlah aktivis muda dan mahasiswa, di antaranya dari PRD. Seperti kita ketahui sejumlah aktivis diculik rezim Suharto pada pertengahan pertama 1998 sebelum diktator militer itu jatuh.

Sejumlah aktivis setelah diculik, semula berada di instansi militer resmi seperti Kodim Jakarta Timur, disiksa dan diinterogasi di instansi militer [rahasia] dalam keadaan mata terus ditutup. Tiba-tiba mereka sudah dibawa ke Polda Metro Jaya. Sejumlah aktivis kemudian dibebaskan dalam bulan Juni 1998 setelah tumbangnya sang diktator.

Seperti kita ketahui masih ada 13 orang aktivis yang diculik oleh instansi yang sama di masa itu tidak pernah kembali, di antaranya aktivis buruh sekaligus penyair, Wiji Thukul dengan seruannya yang tersohor: HANYA ADA SATU KATA: LAWAN!

Ketika itu seorang petinggi militer, Jenderal Syarwan Hamid yang amat ditakuti karena jabatannya, menyatakan bahwa Wiji Thukul telah menantang pemerintah. Rupanya rezim militer yang perkasa itu takut juga dengan seorang penyair miskin kerempeng.

Instansi militer penculik [rahasia] yang terang identitasnya di mata beberapa Kodim dan Polda Metro Jaya sampai saat ini belum diusut. Di mana 13 pemuda bibit bangsa itu telah dibunuh dan dikubur?

Adakah HAM hanya untuk kaum koruptor dan tersangka koruptor serta Jenderal Besar (Purn) Suharto, dan tidak untuk para [bekas] tapol dan aktivis yang melawan kediktatoran rezim militer Orba?

Bekasi, 9 Januari 2008
Helen
Jl Raya Pos Pengumben Jakarta
helen77@yahoo.co.id
08186572345



Malam di Luweng Grubug Jawa Tengah

Sudah begitu tersohor di seluruh dunia tentang pembantaian 3 juta rakyat tak berdosa pada 1965/1966 di seluruh pelosok Indonesia. Utamanya di Jawa Tengah dan Timur serta Bali dengan segala kekejamannya meski pada masanya tidak diberitakan.

Sejak jatuhnya Sang Diktator maka mulai disiarkan kisah brutal dan mengerikan yang selama ini disembunyikan dan dibungkus dengan berbagai label seperti "adanya perang saudara 1965", adanya "situasi membunuh dan dibunuh", dua kebohongan besar rezim militer yang didukung pers Barat ketika itu.

Saking gencarnya propaganda rezim Orba dalam menjajakan kebohongannya, sampai-sampai majalah TEMPO yang bergengsi itu pun sampai terbitannya pada Oktober 2007 yang lalu masih mengunyah kembali dongeng "perang saudara 1965" itu (lihat Tempo 7 Oktober 2007:23).

Yang terjadi ialah pembantaian rakyat sipil tak bersenjata. Bahkan yang sudah ditangkap atau berada dalam kamp tahanan dan penjara. Sebagian pembantaian itu dilakukan secara rahasia, sebagian yang lain dilakukan secara terbuka yang dapat ditonton orang banyak sebagai bagian dari teror mental.

Di bawah ini suatu kisah salah satu model pembantaian di Jawa Tengah, barangkali seorang seniman Orba akan menyebutnya sebagai maut yang indah.

Malam itu para tapol dibariskan dengan diikat kedua kakinya dengan kaki temannya yang di depan dan belakangnya. Mata mereka ditutup rapat dengan kain hitam. Mereka berbaris bagai pasukan tentara, kiri–kanan kiri–kanan.

Mereka harus saling bekerja sama serasi. Tidak terlalu cepat atau lambat agar tidak ada yang terjatuh. Pada malam dingin itu tubuh mereka gemetar dengan degub jantung riuh bertalu, tidak tahu nasib apa yang menanti di jalan berbatu itu.

Kepala barisan berhenti, maka tubuh dan ekor mengikuti. Barisan tanpa alas kaki tanpa baju itu kian kedinginan menggigil. Yang terdengar oleh manusia pilihan itu hanyalah suara jengkerik, jeritan burung hantu, tiupan angin, kemudian semuanya ditelan oleh gemuruh sungai dengan arus deras meluncur ke kejauhan.

"Semua maju dua langkah!" terdengar aba-aba komandan berseragam. Sepi sejenak kecuali gemuruh sungai yang mendominasi sunyi. Kabut tipis terbang dari kedalaman Luweng. Kaki telanjang barisan kian gemetar seperti tak kuat mendukung badan masing-masing.

Dengan dorongan perlahan dari algojo yang dilakukan dengan tongkat kayu terhadap orang terdepan di pinggir Luweng, maka barisan tapol terpilih itu meluncur menyeret belasan teman-teman di belakangnya dengan kaki terikat satu sama lain.

Mereka terjun bersama ke dalam luweng dengan sungai bawah tanah yang bergemuruh ditelan bumi untuk selamanya sebelum mereka menyadari tempat mereka berada dan apa yang sesungguhnya akan terjadi.

Gemuruh sungai, nyanyian jengkerik, suara burung hantu, beberapa orang berseragam di pinggiran Luweng yang usai melakukan tugasnya hari itu sebagai kelanjutan tugas hari kemarin, kemarin dulu, sebelum kemarin dulu, besok, lusa, dan sesudah lusa.

Ya, bagian dari tugas rutin mereka, dan bintang kemintang tetap memancarkan cahayanya. (Ringkasan bebas disunting kembali dari Antonius Sumarwan SJ, 'Adagio: Malam di Luweng Grubug' dalam "Menyeberangi Sungai Air Mata, Kisah Tragis Tapol '65 dan Upaya Rekonsiliasi", Kanisius, Yogyakarta, 2007:311-313).

Suryatmo
Jl Pisangan Wetan Jakarta
squid77@inbox.lv
0818234098

(msh/msh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads