Jakarta - Manusia pada dasarnya selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak sebagai modal dasar untuk hidup di dunia yang merupakan sarana dalam menjalani kehidupan di dunia untuk bekal kehidupan setelah kematian di dunia ini. Umumnya orang mempopulerkan dengan istilah Hak dan Kewajiban. Tetapi, saya pribadi agak kurang sependapat,
kenapa? Hal ini, mengesankan seolah-olah, bahkan secara tidak kita sadari mendorong orang untuk mendahulukan kepentingan haknya baru kemudian kewajibannya.Apa betul demikian? Apakah bukan kewajibannya dahulu baru berhak mendapatkan hak-haknya? Tetapi yang terakhir ini pun harus kita sikapi dengan penuh kearifan!
Koreksi Semangat HAMKonsep ini kelihatannya hebat. Tetapi, kalau kita renungkan dengan hati yang jernih mengandung suatu kelemahan yang mendasar,
kenapa? Ya, seperti, penjelasan di atas bahwa yang lebih lengkap adalah konsep KHAM (Kewajiban Hak Asasi Manusia). Yang ini pun sebenarnya masih harus disempurnakan.Dampak dari semangat HAM menjadi terasa parah dampaknya terhadap bangsa kita yang mayoritas, kondisinya sudah kehilangan jiwanya, jati dirinya, kehilangan semangat kemandiriannya; sehingga memperparah budaya menuntut, budaya menggantungkan diri, budaya
ngemis-ngemis, dan masih banyak ragamnya, yang pada akhirnya menjadi bangsa yang terombang ambing. Bangsa yang minder. Bangsa yang tercerabut akar budayanya dari bumi pertiwi.
Lha, kalau sudah seperti ini tinggal selangkah lagi. Sangat siap untuk dijajah kembali. Tentunya dengan model penjajahan gaya baru. Kalau kita renungkan bisakah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bisa terwujud kalau hanya sekedar bermodalkan semangat HAM? Memang, leluhur-leluhur kita tergerak untuk berjuang pasti terpicu oleh ketidakadilan pelaksanaan HAM. Tetapi, untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut beliau-beliau sangat disemangati dengan semangat "Kewajiban Asasi Manusia". Insya Allah dalam perjuanganya jauh dari semangat pamrih untuk dirinya atau HAM dalam arti sempit. Atau dengan kata lain kalau waktu itu HAM saja yang menjadi semangatnya Kemerdakaan 17 Agustus 1945 tidak akan terwujud.KHAM "Kewajiban Hak Asasi Manusia" yang masih perlu disempurnakan. Di mana letak ketidaksempurnaannya? Kelihatannya sudah ideal. Orang memberikan kewajibannya dulu baru berhak mendapatkan hak-haknya. Tetapi, kalau kita renungkan seolah-olah hak-hak yang kita dapatkan tersebut merupakan hak mutlak kita walaupun masih lebih baik dibandingkan kalau hanya sekedar menuntut haknya saja.Kalau semangat ini yang menjadi dasar manusia maka dampaknya adalah menjadikan manusia egois. Tidak perduli orang lain yang pada akhirnya cita-cita sila ke-5 "Keadilan Sosial" semakin jauh dari harapan.Apa yang seharusnya menjadi semangat kita adalah KHAM yang disempurnakan. Yakni hak yang telah menjadi hak kita dari kewajiban yang telah kita lakukan, kita nikmati secukupnya atau sewajarnya, dengan demikian ada akumulasi kelebihan dari sisa hak-hak yang kita nikmati. Kelebihan inilah yang diperuntukkan untuk membantu pihak lain agar dapat menikmati hak-haknya secara wajar.Ada dua pendekatan dalam merealisasikannya yakni pendekatan kultural dan struktural. Pertama, pendekatan kultural. Kita sebagai individu menjalankan kehidupan ini dengan semangat KHAM dengan menikmati hak-haknya secara wajar atau secukupnya atau dengan kata lain menjauhi semangat hedonisme yang kelebihan dari hak-hak yang kita miliki, digunakan untuk membantu pihak lain yang perlu bantuan.Kedua, pendekatan struktural. Sebagai pihak yang berkuasa atau lebih berkuasa selain secara individu melaksanakan semangat kultural di atas juga mendorong sistem untuk menciptakan terlaksananya pemerataan. Dengan berbagai aturan kebijakan yang dibuat, dengan pelaksanaan yang penuh tanggung jawab, sehingga dapat tercapai tujuan Negara kita "Adil dan Makmur".
Individualis Sekaligus SosialisKelihatannya aneh, tidak masuk akal, atau kontradiktif. Tetapi, kalau kita renungkan, bukannya hubungan kita, tanggung jawab kita kepada Tuhan, adalah tanggung jawab individu?
Kenapa Bung Karno membuat istilah "Berdikari" berdiri di atas kaki sendiri, adalah suatu semangat jiwa yang tidak dikasihani, jiwa yang tidak tergantung, jiwa yang berusaha mengatasi permasalahan dengan segala kemampuannya; tetapi bukan berarti menolak bantuan, atau kerja sama, tetapi bantuan atau kerja sama yang tidak memasung kemandirian kita, bantuan atau kerja sama yang saling menguntungkan, dengan semangat saling menghargai.Atau dengan kata lain, bantuan atau kerja sama, bukan menjadi tujuan, tetapi hanya sekedar sarana, dalam rangka untuk membuat tujuan agar lebih efektif dan efisien; dengan demikian, jangan sampai dengan adanya bantuan atau kerja sama, malah membuat tujuan menjadi melenceng atau terganggu.Di sinilah adanya suatu semangat "tauhid murni" yakni hanya Tuhan yang Maha Esalah yang hanya layak digantungi, layak dimintai tolong, bukan kepada makhluk-makhluknya Tuhan, dengan beragam bentuknya. Tentunya sesama makhluk Tuhan adalah perlu dibangun semangat kerja sama yang saling menghargai.Di mana letak sosialnya? Adalah pada semangat yang pada kewajiban kita sebagai makhluk sosial, dengan cara kita menikmati hak-hak kita secukupnya, maka kita akan mempunyai kekuatan untuk dapat membantu mengatasi permasalahan-permasalahan orang lain, yang secara struktural maupun kultural perlu untuk kita tolong.Dengan demikian, dalam menyelesaikan kewajiban adalah dengan semangat dimulai dari kewajiban yang paling dekat atau yang paling mungkin dilakukan, baru semakin keluar dan seterusnya; dengan kita menjalani seperti ini otomatis dampaknya adalah kesalehan sosial. (baca tulisan sebelumnya, bagian
Kesalehan Sosial)
Ratu Adil, Satrio PiningitMenunggu Satrio Piningit di luar diri kita, itu baik-baik saja, tetapi sebenarnya semangatnya, tugas tersebut adalah panggilan kita semua, dalam konteks dan skala Ratu Adil atau Satrio Piningit yang berbeda.Coba, kalau kita renungkan, makna dari Satrio Piningit atau Ratu Adil "Satrio pinandito, pandito sinantrio"; adalah satrio yang menegakan keadilan, yang berlandaskan kehendak Tuhan atau kalau ulama, adalah ulama yang berjiwa satrio, berani menyampaikan dan bertindak yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, menurut kehendak Tuhan, bukan atas dasar "pesanan sponsor" kelompok/golongannya saja atau sang penguasa yang dholim.Apakah ini, bukannya tugas semua manusia di dunia? Kalau saya meminjam istilah di Islam, tugas manusia adalah sebagai khalifah di dunia, wakil Tuhan di dunia, untuk "memayu hayuning bawono"; sebagai pemimpin untuk membuat alam semesta menjadi sejahtera; di sini jelas adalah untuk seluruh alam semesta, tidak hanya untuk kelompok atau golongan saja.Memang, Indonesia, perlu dipimpin Satrio Pinandito, tetapi Indonesia,
kan tidak hanya presiden saja, ya ada pedagang, Pak RT, Pak Guru, tukang ojek, dll. Di sinilah letak permasalahan! Yang membuat bangsa Indonesia tidak maju, atau Indonesia tidak berkembang, yakni kerjaannya hanya menunggu kedatangan dewa datang dari langit "Satrio Piningit", yang tiba-tiba bisa mengubah dalam waktu sekejap Indonesia menjadi Adil dan Makmur; tanpa kita berusaha untuk andil menjadikan Indonesia menjadi Adil dan Makmur.Sudahkah kita mulai berusaha? Biarlah yang lain belum berubah kita mulai dari diri kita sendiri dulu. Kita tidak perlu menunggu orang lain. Jangan-jangan yang terjadi hanya saling menunggu saja. Jadi tidak ada yang memulai. Maka tidak salah yang terjadi adalah hanya sekedar menunggu datangnya "Satrio Piningit" saja.Tetapi, saya pribadi bukannya tidak percaya mujizat Tuhan "apa yang tidak mungkin menurut Tuhan", tetapi ini Hak Mutlak Tuhan. Artinya bukan menjadi urusan kita. Selamat berjuang untuk Indonesia menuju Adil dan Makmur.
Budi PraptonoJl Mekarsari Inteldam Baleendah Bandungbpt@stttelkom.ac.id022 70058797/ Hp. 08122049898Budi Praptono adalah Dosen di sebuah Perguruan Tinggi Swasta dengan jabatan akademik Lektor, Ketua Forum Sosial Merah Putih Bersatu Indonesia. (Alumni S1 Teknik Industri ITB & S2 Magister Manajemen ITB)
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini