Biaya Lingkungan Pembangunan
Jumat, 27 Jul 2007 09:55 WIB
Jakarta - Ada perbedaan yang besar dan mendasar antara pembangunanisme dan pembangunan. Pembangunanisme adalah suatu politik ekonomi yang mengagungkan pertumbuhan ekonomi sebagai parameter pembangunan. Segala sesuatu dinilai dari dan apakah dalam suatu proses pembangunan, output-nya dapat memberikan sumbangan pada lajunya angka pertumbuhan ekonomi. Tak peduli apakah proses pembangunan ini dalam prakteknya menyusahkan masyarakat atau tidak. Selama proses itu menopang laju pertumbuhan ekonomi maka bisa dilegalisir (disahkan). Pengorbanan rakyat dianggap sebagai suatu hal yang "wajar" demi pembangunan. Meskipun sebenarnya proses pembangunan itu tidak banyak faedahnya bagi rakyat. Pembangunanisme juga tidak peduli apakah proses pembangunan akan merusakkan ekosistem dan lingkungan hidup. Proses itu hanya dilihat dari "berapa sumbangannya terhadap pendapatan daerah atau nasional".Sedang pembangunan, pada sisi lain, sangat berbeda. Menurut, Todaro, (1996), pembangunan memiliki tiga inti (Three Core Values of Development), yaitu : 1) Sustanance: The ability to meet basic needs. Pembangunan harus mampu meningkatkan kemampuan setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), yakni makanan, naungan (shelter), kesehatan, dan perlindungan. 2) Self-esteem : to be a person. Pembangunan harus memberikan penghargaan diri sebagai manusia dan tidak digunakan sebagai alat dari orang lain. 3) Freedom from servitude: To be able to choose. Pembangunan harus membebaskan manusia dari perhambaan dan ketergantungan akan alam, kebodohan, dan kemelaratan.Pembangunan pabrik semen di Desa Lubuk Resam, Seluma, yang mengundang pro-kontra, terkhusus di kalangan aktivis lingkungan jelas harus disikapi secara bijak. Dilematis memang, di tengah-tengah percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pembangunan selalu tersandung pada persoalan penyelamatan dan perlindungan lingkungan. Pabrik belum berdiri sudah didemo (ditentang). Paradigma ini jangan digeneralisir secara dangkal dan kasar. Fakta menunjukkan permasalahan lingkungan dan kerusakan sumber daya alam telah dan akan terus hadir bersamaan dengan kegiatan pembangunan. Pembangunan akan menambah kesejahteraan bagi manusia bila manfaat yang diperoleh melebihi nilai gangguan atau kerusakan.Sayang dalam realitas kesejahteraannya hanya untuk segelintir orang. Masyarakat dan lingkungan tak lebih sebagai tumbal atau piranti untuk "menggemukkan" sebagian orang yang punya akses modal kuat dan lobi tingkat tinggi. Teori tak selamanya mulus di lapangan. Dan yang pasti lingkungan (hutan) adalah barang publik bukan milik individual (private goods). Pembangunan dalam kawasan hutan lindung, apa pun itu bentuknya, dan mungkin saja di-back up dengan undang-undang atau pejabatnya, terkadang tak lebih sebagai penghancuran 'terencana' atau 'terskenario'.Terdapat 3 alasan utama mengapa hutan lindung disebut sebagai barang publik. Pertama, publik atau masyarakat menerima manfaat hutan lindung secara kolektif. Bergesernya prinsip pemanfaatan koletivitas secara berkelanjutan menuju ke arah pemanfaatan destruktif berbasis kekuatan kelompok swasta dan politik kekuasaan telah menghilangkan manfaat hutan lindung yang dimanfaatkan jasa-jasa lingkungannya secara kolektif oleh publik luas. Kedua, hutan lindung tidak hanya memberikan manfaat lingkungan kepada masyarakat yang hidup di sekitar hutan lindung. Namun, manfaat lingkungannya tersebut menyebar (off-site effects), misalnya mengatur pengendalian air terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian suplai air untuk irigasi, pertanian, serta kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Dalam ekonomi lingkungan, manfaat tersebut sering disebut sebagai eksternalitas positif dari hutan lindung kepada kemanfaatan publik secara luas. Pencanangan pertambangan terbuka di kawasan lindung Seluma, adalah pintu menuju eksternalitas negatif. Ketiga, hutan lindung bersifat tidak dapat diperbaharui (irreversibility). Praktik destruktif pertambangan terbuka di hutan lindung tidak akan dapat diperbaharui ekosistem dan fungsinya seperti semula. Sekali saja 'kran' ini dibuka maka tidak menutup kemungkinan aktivas berbau perusakan hutan lindung akan mengalir terus dan tak terhenti. Lalu mengapa harus membuat lahan perusakan baru.Terlepas dari banyak atau tidaknya kandungan deposit mineral di daerah hutan lindung Seluma, Lubuk Resam, persoalannya adalah mampukah ini menjadi jaminan bahwa persoalan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan akan tertanggulangi. Dengan tanpa mengganggu atau mencemari lingkungan di sana. Seberapa jauh komitmen pemrakarsa berkomitmen dengan amdal. Kompensasi apa yang akan diterima masyarakat sekitar. Tentunya yang harus dibebankan untuk menjawab pertanyaan serius ini adalah penggagasnya.Kemiskinan punya banyak wajah dan cenderung berubah dari waktu ke waktu dan tidak cukup diukur dengan tingkat pendapatan. Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan berarti tidak ada rumah. Jika sakit tidak dapat berobat ke dokter, tidak bisa sekolah, tidak tahu baca dan tulis, tidak punya pekerjaan, tidak punya lahan pertanian, selalu khawatir tentang masa depan, hidup hanya untuk hari ini, tidak punya daya dan tidak punya kebebasan. Secara sederhana kemiskinan dapat dikelompokkan. Pengelompokan kemiskinan menurut Aida Vitayala, (2004), kemiskinan itu terbagi menjadi, Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur yang membelenggu masyarakat secara keseluruhan untuk melakukan kemajuan; Kemiskinan Natural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh pemiskinan sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menghidupi masyarakat; Kemiskinan Absolut StrukturaI adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakterpenuhinya kebutuhan hidup standar minimum suatu komunitas; Kemiskinan Relatif adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur yang membelenggu masyarakat secara keseluruhan untuk melakukan kemajuan.Zaman sekarang, kemiskinan pada masyarakat ekonomi lemah sebagian besarnya tersebar di pedesaan dan sekitar hutan. Persoalannya sudah menjurus pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan perut, dan mungkin lebih tepat lagi kalau dibilang 'sekarat'. Kerap kenyataan menunjukkan sebagian proyek pembangunan justru menggemukkan pemilik modal. Ke depan rasanya sudah selayaknya pula harus kita sepakati kalau nanti pembangunan pabrik semen di Seluma atau di mana pun nantinya, apabila masih ada masyarakat sekitar proyek dan notabene bekerja di pabrik tersebut, ternyata masih ada yang belum mampu membeli semen atau mungkin masih ada juga rumahnya yang belum berdinding semen maka ini artinya indikasi bahwa pabrik tersebut harus segera dikaji ulang. Atau bila perlu ditutup. Ringkasnya, penciptaan lapangan kerja baru dan pemberdayaan ekonomi perlu dilakukan dengan segera secara holistik dan integratif dalam kerangka ketahanan pangan dan pendapatan keluarga. Membius masyarakat dengan kumpulan artis bukanlah cara bijak. Masyarakat miskin sekitar pembangunan proyek semen harus dilibatkan secara partisipatif. Norma dan nilai-nilai masyarakat jangan sampai terberangus dengan roda percepatan pembangunan. Desa Lubuk Resam adalah desa kaya potensi. Kehidupan goa-goa alam di sana adalah aset yang harus dijaga. Hulu Air Seluma yang menjadi pilar utama penghidupan masyarakat sekitar (hulu-hilir) bukan tempat pembuangan limbah. Dan ingat, hutan lindung di sana adalah tempat habitat Bunga Rafflesia dan Bunga Bangkai. Sungguh sebuah kekayaan sejati yang patut dibanggakan orang Seluma dan Bengkulu secara umum. Dan itu artinya 'wanti-wanti' yang disampaikan pemerhati lingkungan harus dicamkan. Bukan angin lalu dan juga bukan omong kosong.Menyuarakan penyelamatan lingkungan tidak mesti menunggu pabrik semen dicanangkan. Menyuarakan lingkungan adalah permasalahan yang kompleks. Melibatkan berbagai sisi kehidupan dan menyuarakan lingkungan tidak harus dimaknai dengan preservasi (pengawetan) atau tidak boleh diganggu gugat. Demo penyampaian aspirasi tentang pabrik semen Seluma oleh aktivis lingkungan lalu sungguh sebuah tindakan tepat di tengah-tengah kelesuan orang menyuarakan penyelamatan lingkungan secara frontal. Kendati minim pasukan dan tak begitu mem-blowup di tatanan nasional, Bengkulu patut bangga masih ada orang yang mau peduli dengan lingkungan. Sementara yang lain lebih berprinsip 'manut wae' dan melemparkan tanggung jawab ini hanya pada pemerhati lingkungan.Gerakan lingkungan di Bengkulu masih terkesan tumpul dan spontanitas. Isu yang diangkat miskin analisis dan perspektif. Begitu pun dengan belum terpola dan tersatukannya gerakan dari sekian banyak organisasi lingkungan di Bengkulu, cenderung terkotak-kotak, ini adalah polemik yang harus segera dibenahi. Sudah selayaknya, kaum pencinta alam atau pemerhati lingkungan memiliki tim analisis elit. Melibatkan praktisi kampus adalah langkah yang bijak. Strategi dan taktik (stratak) haruslah dikonsep sedemikian matang. Bahkan Tikus saja punya tiga lobang. Evaluasi dan jeli melihat isu selanjutnya adalah syarat utama. Pola gerakan tidak harus melulu soft (lembut) dan juga tidak selamanya frontal. Yang terpenting adalah penyadaran publik tentang dampak langsung dan tidak langsung dari permasalahan yang ada. Yang pasti menentang sebuah aktivitas yang merugikan masyarakat tentu harus dibarengi dengan alternatif solusi yang tepat. Jadi tidak cukup dengan gigih menolak sebab pada dasarnya dari pihak pemrakarsa pembangunan tentu juga bertujuan untuk kemaslahatan orang banyak. Kendati pada kenyataannya kemaslahatannya hanya untuk segelintir orang. Inilah yang harus dibenahi dan juga yang harus diingat yaitu jikalau memang ini layak dan memang sedikit 'geblek' dinasehati maka gerakan lingkungan harus siap berseberangan. Satu hal bahwa gerakan lingkungan tidak ada kata selesainya. Atau dengan kata lain tidak cukup dengan mempercayai niat baik para pemrakarsa proyek terhadap perlindungan lingkungan. Sebab boleh jadi, jarang atau tidak ada pemrakarsa proyek yang berniat seperti ini. Belajar dari sejarah lampau dan pengalaman adalah guru terbaik dan sejalan dengan semangat Hari Bumi 22 April lalu, setidaknya ini dapat dijadikan ajang kontemplasi (perenungan) bagi semua. Adakah sesuatu yang berarti yang telah dilakukan terhadap lingkungan? Atau mungkin masih sama dengan waktu dulu? Memberi contoh itu gampang, tapi yang namanya menjadi contoh ternyata jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Kesempatan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui otonomi mungkin bisa dimaklumi. Ini wajar karena dengan kenaikan PAD pemda akan memiliki kemampuan yang lebih untuk membangun daerah. Tidak wajar ialah jika kenaikan PAD itu dicapai dengan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dengan lebih ekstensif dan intensif. Pemerintah harus mampu memperhitungkan biaya eksternalitas (social cost dan environmental cost) yang akan timbul dari setiap aktivitas pembangunan. Lingkungan dapat memberikan eksternalitas (dampak sampingan) positif dan negative, tergantung pengelolaannya. Ingat api mungkin bisa ditutupi, tapi asap tidak.Jikalau sekarang pemerintah daerah dan kabupaten sudah memiliki rancangan strategis dalam penanggulangan permasalahan lingkungan dan kalau memungkinkan hingga dua lapis atau lebih, maka bukan tidak mungkin pembangunan layak dilakukan. Begitu juga apabila seandainya rancangan ini masih disusun atau masih dalam tahap wacana, ada baiknya ditunda dahulu proyek-proyek percepatannya. Jangan sampai inisiasi percepatan pembangunan, misal pabrik semen tadi justru menjadi ancaman dan bukannya peluang bagi masyarakat dan generasi ke depan. Bukankah kehidupan generasi ke depan dibeli dari masa kini. Sudikah kita menghadiahi anak cucu di kemudian hari dengan barang bekas dan sudah tak layak pakai lagi.Harry SiswoyoJl Meranti Raya Sawah Lebar Kota Bengkulu ary069_spora@yahoo.co.id085267310028Penulis adalah:- Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan- Koordinator Pengembangan Kelembagaan Perkumpulan SPORA-Bengkulu (Solidaritas untuk Pengelolaan Lingkungan Berbasis Masyarakat), 2006-Sekarang- Mantan Ketua Umum Pencinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu (PAFE-UNIB)2003-2004
(msh/nrl)