Kok bisa? Saat duduk di bangku kelas 5 SDN, pada kampung halamannya di Pandeglang, Provinsi Banten, Adi suatu hari bermimpi bertemu Rasulullah SAW.
Dalam wajah nabiyyuna yang bening dan tersenyum, mimpi pertemuan ini berlansung di mushala ayahnya yang sehari-hari mengajar agama Islam di luar aktivitas kesehariannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan satu dua orang, namun lebih dari ratusan orang rela berdiri mendengar ceramahnya. Di selasar depan menuju ruangan utama Mesjid Salman ITB, persis seberang toilet, hingga taman rumput depan mesjid legendaris.
Mereka berdiri karena kapasitas utama ruangan sudah terisi, baik untuk jamaah lelaki (ikhwan) maupun perempuan (akhwat). Beruntung, sejumlah layar tambahan, membuat mereka tetap bisa menyimak ceramah Ustadz Adi Hidayat, Ahad (23/7/2017) siang mulai jam 10.00 hingga waktu shalat Dzuhur.
Sebelumnya, di perumahan elit terluas di Bandung Raya, Kota Baru Parahyangan, bahkan sejumlah jamaah sengaja datang dari Bekasi dan Jakarta. Beberapa diidentifikasi penceramah pintar dan kuat ingatan itu sebagai mustami' yang kerap mengikuti kemanapun dirinya mengisi kajian.
Tanpa itupun, terutama masyarakat Bandung itu sendiri, penuh sesak hadiri terlihat sejak Ahad dinihari. Untuk parkir mobil saja melimpah sampai ke jalan utama dua baris panjang di sepanjang jalan protokol depan bangunan Bale Barli tersebut.
Dua tenda besar yang disediakan panitia di luar area mesjid tak cukup pula. Mendadak dihamparkan terpal plastik. Minat tinggi tersebut selain untuk ikut Mabit (Malam Bina Iman Takwa) berupa shalat malam dipimpin imam muda hafidz, juga mengejar spot terenak ikuti kajian Ustadz Adi Hidayat dari bada subuh hingga jam 7 pagi.
Kisah lain menarik tercatat di Way Halim, sebuah kecamatan di Lampung. Awal mula isi kajian di sana, jamaah hanya 40 orang. Setelah makin tahu dalamnya ilmu, meningkat ratusan orang padahal kapasitas mesjid tak memadai. Setelah direnov, bisa pula menampung hingga 4.000 orang. Ini pun tetap tak cukup.
"Ada sebuah pengajian saya yang bikin macet. Kawan kepolisian bertanya-tanya, lalu masuk ke dalam ingin tahu siapa yang ceramah. Beberapa saat dari itu, si Bapak malah cari peci karena ingin ngaji juga," sambung Adi, seraya tersenyum, di sela sarapan paginya kala itu.
Di Surabaya, kondisi mirip-mirip terjadi. Bahkan, selepas pengajian, sang polisi akhirnya mengawal khusus (voijraider) dari Surabaya ke lokasi pengajian berikutnya di Kota Malang. Dan, ini bukan hanya di dalam negeri. Tahun ini, jadwal isi ceramah sudah tercatat setidaknya di Jepang dan Malaysia.
Minat tinggi ini pula yang membuat --kita jadi tak kaget dibuatnya-- sudah 60 hingga 80 jadwal pengajian telah tercatatkan untuk tahun 2018. Di sisa enam bulan penghujung tahun ini, terutama mulai Kamis hingga Ahad, sulit untuk berharap dapat jadwal dadakan dari penceramah lulusan Islamic Call College Tripoli, Libya, dan UIN Sunan Gunung Djati, Bandung tersebut.
Para pencari ilmu agama ini memang bertemu dengan da'i yang juga gila ilmu. Senang belajar, terutama tafsir Al-Quran, sudah dilakoninya jauh sebelum orang mengenalnya sebagai pendakwah sistematis dan ilmiah.
Selepas mondok di Garut tersebut, Adi muda sudah peroleh rekomendasi beasiswa ke sebuah perguruan tinggi di Madinah, Arab Saudi. Sayang, insiden bom Bali I tahun 2001 membuyarkan itu karena beasiswa luar kala itu dibatalkan.
Tak menunggu lama, sekolah dijalani dulu di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, selama dua tahun pada jurusan yang kala itu dikerjasamakan dengan universitas sohor asal Mesir, Al-Azhar.
Dua tahun di sana, kembali pada cita-cita menimba ilmu agama di Timur Tengah, ayah dua balita ini akhirnya diterima di Libya. Di sebuah negara, yang menurutnya, sangat baik dalam memberikan pendidikan tinggi.
Dari Libya pula, empat negara lain di Timur Tengah tempat bersemayamnya ilmu agama Islam, bisa dijajalnya. Antara lain di Mesir, Arab Saudi, dan Tunisia --bahkan di negara terakhir sampai dievakuasi karena muncul kerusuhan politik domestik, Februari 2011 lalu.
Di Arab Saudi, selain menjadi petugas haji tahun 2010 lalu, dia pun menimba ilmu secara informal di banyak tempat. Yang berkesan tentu saja di Mesir, karena Adi bahkan peroleh kitab Tafsir Al-Quran (bidang pelajaran favoritnya) dari ulama besar Al-Azhar, Seikh Thanthawi Jauhari.
Semua pengalaman berharga ini kemudian digenapkan setelah tak lama pulang ke Indonesia, tahun 2012 meneruskan magister Bahasa Arab ke UIN Sunan Gunung Djati, Bandung di kampus pasca-nya yang kala itu berlokasi di Ujung Berung, Kota Bandung.
"Semuanya saya lakukan semata untuk mencari ridho Allah Swt. Saya ingin diri saya diridhoi, ummat diridhoi, bahkan negara pun klo diridhoi, sudah pasti tercapai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negara yang baik dengan Rabb yang Pengampun, red)," katanya.
Prinsip ini yang membuat seorang Adi tak pernah sekalipun sengaja mendesain dari awal agar eksis pada warganet, khususnya di media sosial. Sekalipun kini videonya di Youtube berkisar 3.000 buah, tak ada yang khusus dibuatnya sejak pertama mengisi kajian-kajian sekembalinya ke Indonesia.
Menurut dia, jangankan main Youtube, menggunakan akun personalnya sebatas di Facebook/FB pun relatif jarang. Malah dia terkaget-kaget karena pas berselancar di FB dan Instagram belakangan, banyak yang gunakan namanya lengkap dengan gelar dan aneka sematan.
Kalaupun menjadi sangat eksis, itu awalnya karena ada jamaah yang merekam dan merasa kajiannya sangat bagus. Lalu minta izin untuk diunggah, dan banyak yang suka walapun kemudian jadi tak terkontrol.
Ceramahnya dibenturkan, dibingkai tak pas, bahkan jadi sumber konflik dengan sesama asatidz, yang sayangnya tak ada saluran komunikasi di antara mereka, sehingga mengesankan Islam yang retak.
Maka, Adi pun menggagas Akhyar.tv sejak November 2016 lalu. Tujuannya agar menjadi saluran resmi, sekaligus mengejar visi menjadi media penyiaran Islami, bahkan kalau bisa mengalahkan Youtube kelak.
"Agar luruskan [materi dakwah] lebih utuh, sekaligus memberi keteladan ke televisi lain, bahwa bisa kita bikin televisi dengan tujuan dakwah. Biayanya tak begitu mahal, tapi kru kita dekat dengan Allah Swt karena mereka menjaga shalatnya dan menjaga diri dari maksiat," sambungnya.
Akhyar.tv pula yang kemudian memberi banyak kemudahan baginya. Mulai dari bisa meliput di Roudhoh, tempat super maqbul di Mesjid Nabawi, Madinah dan Masjidil Haram, Mekkah, serta streaming dari Jabal Tsur. Sekalipun demikian, seluruh peralatan adalah barang wakaf yang bisa ummat gunakan kelak.
Baginya, niat harus tetap terjaga. Godaan popularitas hingga materi sudah pasti terus mengintainya. Alkisah, ada sebuah pengundang dengan banyak jamaah yang tetiba batalkan jadwal karena tempat sudah terlanjur digunakan.
Setelah itu, sambung Adi, masuk telepon mengundang ceramah dan sampaikan bahwa kajian paling dihadiri 5-10 orang. Maka disepakati, namun tak lama kemudian pengundang banyak jamaah menelepon lagi dan minta hadir karena sebelumnya hanya miskomunikasi.
"Saya mohon maaf karena sudah janji dengan kajian jamaah sedikit. Saya tak terpengaruh sedikit banyak, tugas saya hanya mengajar saja. Godaan popularitas itu tinggi, tapi karena sudah lebih dulu hafal panduannya di Quran sedari awal, maka kita hadapi dengan tenang dan tempatkan itu sebagai fitrah," ujarnya.
Prinsip itu pula yang membuatnya mengosongkan jadwal ceramah di luar rumah tiap Senin sampai Rabu. Tak silau popularitas, Ustadz Adi, sapaannya, pada hari tersebut memokuskan waktu bagi istri dan kedua anak balitanya. Di sela itu, intens mengisi program di Sekolah Kader Ulama dari lembaga yang diipimpinnya, Quantum Akhyar Institute, di Bekasi.
Karenanya, di sisi lain, ketika ada yang menilai pengajiannya tidak pas, Adi anggap itu sebuah fitrah. Malah kalau tak beriak, mungkin ada yang tak benar dengan cara dakwahnya. "Nabi Muhammad saja di-tahdzir (disebut munkar di depan umum,red), masa saya enggak," pungkasnya.
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Dosen Digital Public Relations FKB Telkom University (wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini