Rasa manis juga dapat diperoleh dari pemanis buatan yang sebenarnya tidak ditemukan di alam, namun dapat dibuat oleh manusia. Pemanis alami (gula) dan pemanis buatan sering digunakan untuk produk-produk makanan dalam kemasan.
Sebagian masyarakat menganggap pemanis alami lebih baik daripada pemanis buatan. Apakah anggapan tersebut benar atau tidak akan diulas dalam tulisan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemanis alami terdiri atas kalori yang tinggi di dalamnya yang memberikan konsumen asupan energi. Apabila kita mengonsumsi pemanis alami terlalu tinggi per harinya akan meningkatkan berat badan secara drastis.
Dan jika tidak diimbangi dengan keluaran energi yang seimbang dengan asupan energi yang diperoleh. Risiko lain dari konsumsi pemanis alami yang berlebihan adalah diabetes, obesitas dan karies gigi.
Kementerian Kesehatan RI (Kemkes) menyarankan konsumsi gula per hari yaitu 50 gram (4 sendok makan) gula .
Pemanis buatan adalah bahan sintetis yang dapat memberikan rasa manis seperti gula namun tidak ditemukan di alam seperti pada tanaman atau hewan.
Beberapa pemanis buatan yang sering digunakan diantaranya sakarin, aspartam, dan asesulfam K. Kelebihan pemanis buatan dibandingkan pemanis alami yaitu pemanis buatan memberikan asupan energi lebih kecil terhadap konsumen atau tidak memberikan energi sama sekali.
Harga untuk memperoleh pemanis buatan lebih murah dibandingkan pemanis alami, dan intensitas manis yang diberikan lebih besar sehingga sedikit penambahan pemanis buatan sudah mengimbangi tingkat kemanisan pemanis alami dalam jumlah besar.
Pemanis buatan adalah opsi bagi para penderita diabetes yang tidak mampu mengendalikan kadar gula dalam darah berdampak terhadap penyakit yang membahayakan penderita diabetes bila konsumsi gula berlebih.
Harga lebih rendah dan intensitas rasa manis lebih tinggi menjadi alasan bagi industri makanan lebih memilih menggunakan pemanis buatan.
Namun beberapa peneliti menyatakan pemanis buatan dapat meningkatkan berbagai gangguan kesehatan yang tidak disebabkan pemanis alami
Beberapa pemanis buatan dapat memunculkan rasa pahit atau rasa manis yang membekas pada lidah setelah makanan dengan pemanis buatan ditelan.
Salah satu contoh pemanis buatan yang sangat umum digunakan dalam produk pangan adalah sakarin. Sakarin adalah pemanis buatan yang pertama ditemukan menurut sejarah yang tercatat.
Pada tahun 1960, sebuah studi membuktikan sakarin menyebabkan kanker terhadap tikus percobaan. Studi tersebut menggemparkan masyarakat karena sakarin pada saat itu diketahui sebagai satu-satunya pemanis buatan.
Setelah kejadian tersebut sakarin dilarang digunakan dalam pangan hingga pada tahun 1977 penelitian berulang dilakukan untuk membuktikan kebenaran efek dari sakarin terhadap hewan percobaan.
Dan pada tahun 2002, sakarin diperbolehkan penggunaannya sebagai pemanis buatan dengan nilai Acceptable Daily Intake (ADI) 5 mg/kg berat badan.
Contoh pemanis komersial yang sering digunakan pada produk pangan adalah Aspartam dan Asesulfam-K. Pemanis aspartam pada awalnya sering dianggap berbahaya bagi ibu hamil sehingga keamanannya dipertanyakan sebagai bahan tambahan pangan.
Kajian berulang dilakukan untuk membuktikan keamanan dari aspartam dan terbukti aspartam tidak berbahaya bagi manusia.
Pada tahun 1996 aspartam ditetapkan dapat digunakan sebagai pemanis buatan untuk berbagai makanan dan minuman selama konsumsinya tidak berlebihan.
Studi keamanan menunjukkan bahwa nilai batas Acceptable Daily Intake atau angka asupan per hari yang diregulasi terhadap pemanis ini adalah 50 mg/kg berat badan.
Demikian dengan asesulfam K atau asesulfam potasium. Pemanis ini dinyatakan boleh digunakan pada tahun 1992 oleh FDA untuk permen karet dan makanan kering. Pada tahun 1998 pemanis ini boleh digunakan dalam minuman dengan kadar yang cukup.
Berdasarkan regulasi keamanannya, asesulfam-K memiliki nilai ADI 15mg/kg berat badan. Studi keamanan terhadap aspartam menjelaskan bahwa pemanis ini tidak memiliki kalori dan bersifat non-glikemik, artinya pemanis ini sangat baik bagi penderita obesitas dan diabetes.
Pemanis alami dan pemanis buatan memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing maka dari itu kita sebagai konsumen dapat menentukan jenis pemanis mana yang paling baik bagi tubuh kita.
Apabila Anda tidak menginginkan kalori dari pangan yang kita konsumsi maka pemanis buatan adalah pilihan yang bijaksana dan apabila Anda tidak mempermasalahkan asupan energi dari pemanis yang dikonsumsi maka pemanis alami dapat menjadi pilihan untuk pangan yang akan Anda konsumsi.
Semuanya kembali lagi tentang pola konsumsi, bukan hanya meninjau dari sisi evaluatif pemanis. Pemanis alami dan pemanis buatan takkan berbahaya sejauh pemanis yang dikonsumsi tidak berlebihan dan selama bahan yang digunakan telah memenuhi standar yang ditetapkan peraturan yang berlaku.
Di Indonesia, pemanis buatan termasuk sebagai bahan tambahan pangan yang diperbolehkan dengan kadar tertentu dan golongan tertentu berdasarkan Permenkes No.33 Tahun 2012.
Seorang filsafat terkenal di abad ke 19, Ralph Waldo Emerson dengan gaya Transedentalisme-nya pernah berkata, "Saya tidak ingat berapa banyak buku yang sudah saya baca daripada berapa banyak makanan yang telah saya konsumsi setiap waktu. Itulah yang membentuk saya sekarang".
Sebagai penegasan kembali, kebijaksanaan dalam mengonsumsi pemanis, baik alami maupun buatan yang sesuai dengan batas aman asupan harian/ADI tidak akan berdampak buruk bagi kesehatan.
Ingat, ini bukan tentang mana yang lebih sehat antara jenis pemanis yang digunakan, tetapi tentang proprosi setiap pemanis yang dikonsumsi, baik itu pemanis alami, maupun buatan.
Andy Hartono dan Ronald Alexander
*Penulis adalah Mahasiswa Institut Pertanian Bogor Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan 51, Fakultas Teknologi Pertanian (wwn/wwn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini