Menjual 'Produk' Wisata Lama

Menjual 'Produk' Wisata Lama

Firman Syah - detikNews
Senin, 04 Apr 2016 10:38 WIB
Menjual Produk Wisata Lama
Foto: Firman Syah
Jakarta - Produk menjadi unsur terpenting dalam kegiatan pemasaran. Perusahaan akan senantiasa mengevaluasi produk supaya kualitas tetap terjaga dengan baik.

Tak terkecuali yang terjadi pada produk pariwisata. Pengelola destinasi wisata sudah selayaknya memunculkan minat yang kuat dalam menumbuhkembangkan konsep produk secara matang.

Konsep dasar pariwisata yang dimaksud adalah mengenal identitas produk untuk dijual ke pasar, baik secara lokal maupun mancanegara. Melalui identitas produk, pengelola destinasi wisata dengan mudah memasarkan segala bentuk pariwisata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena ciri khas utama produk tersebut memiliki segmentasi yang belum tentu dimiliki oleh destinasi wisata lain.

Di samping juga identitas produk mencerminkan posisi pasar secara baik. Dimana akan muncul beragam kalangan yang siap dan andil untuk ikut berpartisipasi serta peduli terhadap produk tersebut.

Oleh karenanya tidak menutup kemungkinan 'produk' lama di bidang pariwisata memiliki nilai jual tinggi dibandingkan dengan produk destinasi wisata yang bersifat kekinian.

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa model produk destinasi wisata tersebut. Misalnya Candi Borobudur, Candi Prambanan, gedung-gedung dan benteng-benteng peninggalan penjajah, serta lain-lain.

Walau usia sudah ribuan tahun, namun daya tarik destinasi wisata tersebut pada dasarnya masih melekat kuat. Ini karena nilai sejarah dan budaya yang dibawa tidak begitu saja luntur dari peradaban.

Warisan Kota Tua di Jakarta

Beberapa waktu lalu, Kota Tua DKI Jakarta menyatakan kesiapan untuk masuk ke situs warisan dunia dari UNESCO. Keputusan yang baik untuk memperkenalkan peninggalan bersejarah di Indonesia kepada dunia.

Termasuk ikut melestarikan 'produk' lama yang bernilai jual tinggi. Sehingga anak cucu bangsa ini ke depan masih mengenal dan memahami bagaimana perjuangan nenek moyang di masa lalu.

Perlu diketahui, memperkenalkan produk yang memiliki sejarah ke seluruh penjuru dunia harus memperhitungkan aspek-aspek bisnis di dalamnya atau yang biasa disebut dengan studi kelayakan.

Dari kegiatan ini, pengelola destinasi wisata mampu melihat kekuatan dan peluang yang belum dimiliki oleh destinasi wisata lain. Termasuk menghilangkan kelemahan dan meminimalisir ancaman yang datang.

Sehingga ketika banyak wisatawan yang berbondong-bondong untuk melihat destinasi wisata tersebut, pengelola mampu memberikan pelayanan yang prima dari berbagai segi.

Baik itu penginapan, transportasi, kuliner, cenderamata, dan lain-lain. Semua itu akan membantu wisatawan selama datang berkunjung. Tentunya tanpa mengurangi estetika utama dari sebuah destinasi wisata.

Karena semakin tinggi interaksi dan pemberian penghargaan dari manusia terhadap lingkungan akan semakin memunculkan perhatian besar semua kalangan.

Bahkan, ada rasa memiliki dari manusia atas peristiwa silam yang pernah terjadi di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan Presiden Soekarno: JAS MERAH yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Siklus Hidup Produk

Istilah siklus hidup produk sudah tak asing lagi di telinga, terutama bagi penggiat dunia pemasaran. Konsep yang dibangun adalah mempelajari 'produk' lama yang sudah dikenal namun mulai sedikit dilupakan.

Alasan yang melandasi karena produk tersebut sudah usang atau kurang diminati masyarakat. Padahal, ketika produk dikemas ulang dapat mendatangkan perhatian yang besar.

Dalam karyanya, Kotler & Keller (2009: 303) memberikan penjelasan bahwa siklus hidup produk memiliki perhatian khusus. Maka, perusahaan harus berubah seiring dengan berubahnya produk, pasar, dan pesaing.

Artinya, konsep tersebut menjadi suatu program dari strategi pemasaran untuk melihat produk supaya diterima pasar dalam jangka waktu yang panjang.

Kembali berbicara mengenai kriteria UNESCO terkait warisan budaya dunia, maka Kota Tua di DKI Jakarta harus mengedepankan fungsi produk yang disajikan. Saat ini ada beberapa gedung yang dimanfaatkan namun jauh dari nilai sejarah.

Tentu wisatawan hanya mengetahui sekilas latar belakang dari informasi yang beredar. Hal ini akan berbeda ketika gedung benar-benar difungsikan untuk destinasi wisata.

Misal, Museum Seni Rupa dan Keramik kembali difungsikan untuk mengenalkan Kantor Pengadilan pada 1881 atau Cafe Batavia kembali difungsikan untuk memperkenalkan dulu sebagai kantor administrasi VOC pada 1850.

Sehingga nilai sejarah gedung tersebut masih melekat dengan fungsi awal berdiri sesuai sejarahnya. Intinya, tidak sekedar mengedepankan arsitektur gedung di masa lalu.

Peranan Teknologi Informasi

Kehadiran teknologi informasi saat ini sangat menguntungkan. Ini semua tergantung dan kembali kepada para pengguna. Pada dasarnya, pemanfaatan teknologi informasi secara bijak bahkan untuk kepentingan promosi jelas sangat mendukung.

Terlebih untuk membawa Kota Tua di DKI Jakarta sebagai destinasi wisata favorit bagi mancanegara. Tinggal bagaimana memetakan potensi teknologi informasi.

Seperti diketahui masyarakat umum, teknologi informasi memiliki dampak yang cepat. Jika dikaitkan dengan komunikasi, teknologi informasi jelas mengaitkan internet.

Bahkan, media komunikasi internet mampu mengajak masyarakat untuk interaktif walau tidak bertatap muka langsung. Sehingga, promosi yang menggunakan media internet memiliki kelebihan dengan selektif tinggi dengan biaya yang relatif rendah.

Artinya, dibutuhkan ide-ide kreatif yang juga ikut andil dalam mengembangkan Kota Tua sebagai situs warisan budaya dunia. Apalagi bangunan yang ada merupakan peninggalan sejarah sebagai peradaban manusia di masa lalu.

Kehadiran para pemikir dan masyarakat umum yang peduli Kota Tua secara tidak langsung menghasilkan banyak pendapat yang membangun.

Dengan kalimat lain perubahan zaman telah ikut andil di bidang pemasaran dan dapat mengena kepada masyarakat secara cepat dan tepat. Termasuk bagi mereka yang sudah mencoba berkunjung akan melakukan dua tindakan sekaligus yakni menceritakan pengalaman.

Poin yang masuk dalam promosi ini dapat dilakukan melalui internet kemudian menyebar ke seluruh dunia atau dari perkataan mulut ke mulut yang juga membuat image calon wisatawan.

Strategi Pemasaran Terintegrasi

Maka pilihan yang tepat di tahap ini adalah pemasaran terintegrasi. Sebagaimana dinyatakan Kotler & Keller (2009: 309) tahap kedewasaan dan tahap penurunan memiliki fungsi identifikasi perusahaan supaya mengetahui posisi pasar.

Sehingga ditemukan beberapa langkah dalam rangka mendatangkan pengunjung lebih banyak, apalagi ketika berbicara soal wisatawan mancanegara. Karena memiliki banyak kelebihan dari destinasi wisata lain untuk ditonjolkan.

Pengelola Kota Tua dituntut untuk modifikasi pasar secara global. Yaitu, mengubah image wisatawan supaya mau dan penasaran untuk mencoba datang.

Bagi yang sudah datang supaya merasa ketagihan untuk melakukan kunjungan kembali karena pelayanan yang dimiliki Kota Tua sangat mengesankan. Pola seperti ini dinilai mampu memasuki segmen pasar yang baru sekaligus memenangkan dari destinasi pesaing.

Keamanan dan kenyamanan wisatawan sangat ditekankan. Ini merupakan modifikasi lingkungan sekitar Kota Tua supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan wisatawan.

Dengan konsep tersebut wisatawan merasa betah berlama-lama di Kota Tua untuk menikmati produk yang disajikan. Sehingga mendorong perusahaan untuk meningkatkan penjualan karena banyak wisatawan yang datang.

Terakhir, ketika muncul keluhan yang membuat wisatawan tidak nyaman pengelola harus tanggap untuk merespon. Karena kedekatan emosional tersebut mampu menarik wisatawan.

Melakukan evaluasi terhadap strategi pemasaran juga kualitas layanan diharapkan mampu memberi jawaban kepada para wisatawan. Baik hasil keputusan memperbarui, meninjau kembali dan memperbaiki, menentukan strategi baru, atau meninggalkan konsep tersebut.



Firman Syah, S.Sos.I, M.M
Dosen Tetap Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI & Direktur Forum Studi Pariwisata (ForStar)
0856-7170-783 (wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads