Membaca bagian judul ini saja sudah menggelitik saya dengan pertanyaan, bagaimana bisa pelaku yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan bisa dibebaskan? Terminologi "Pembakar Hutan" itu menunjukkan pelaku tindak pidana pembakaran hutan.
Jadi, dari judul "Pembakar Hutan Dibebaskan" itu saja telah menunjukkan bahwa ada pelaku tindak pidana pembakaran hutan yang dibebaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penulis agaknya melanjutkan penyesatan informasi (disinformasi) yang telah dibuat sebelumnya terhadap putusan PN Palembang itu, seperti terungkap dalam pernyataannya, "... hakim yang ternyata membebaskan para pelaku dikarenakan kebakaran hutan tidak termasuk kejahatan karena hutan yang dibakar dianggap masih bisa diperbaiki".
Pernyataan penulis menunjukkan dengan jelas sekali bahwa penulis tidak paham perkara tersebut. Penulis menyebut "hakim", sementara yang sebenarnya adalah "Majelis Hakim" yang terdiri dari tiga orang hakim. Penulis menyebut "para pelaku", sementara dalam perkara perdata tidak dikenal istilah "pelaku", tetapi "penggugat" dan "tergugat", dan dalam perkara itu tergugatnya hanya satu, yakni PT Bumi Mekar Hijau.
Penulis menggunakan istilah "kejahatan" sementara fakta yang sebenarnya perkara itu bukan perkara pidana (actio criminalis) yang mengadili suatu kejahatan sebagai tindak pidana. Dan Majelis Hakim dalam putusannya sama sekali tidak menyatakan argumentasi "kebakaran hutan tidak termasuk kejahatan karena hutan yang dibakar dianggap masih bisa diperbaiki."
Dari tulisan itu juga nampak penulis tidak pernah membaca putusan Perkara PN Palembang Nomor 24/Pdt.G/2015/PN. Plg. Sehingga tidak heran jika penulis gagal paham atas putusan Majelis Hakim PN. Palembang tersebut.
Untuk menilai suatu putusan pengadilan, seseorang harus mengikuti persidangan suatu perkara, atau setidak-tidaknya membaca secara lengkap putusan Majelis Hakim yang di dalamnya terkandung pertimbangan-pertimbangan hukum (ratio legis) yang merupakan dasar suatu putusan pengadilan.
Seseorang harus mengetahui fakta-fakta persidangan dan berdasarkan pengetahuan atas fakta-fakta persidangan baru bisa melakukan penilaian atas suatu putusan perkara.
Apa yang disampaikan penulis dalam tulisannya itu menunjukkan bahwa penulis tidak mengetahui apa-apa tentang perkara itu, dan tidak pernah membaca putusan Majelis Hakim PN Palembang tersebut.
Sehingga apa yang disampaikannya dalam tulisan tersebut merupakan suatu misrepresentasi. Di dalam hukum dikenal adagium "suggestio falsi suppressio veri". Artinya, suatu misrepresentasi memberangus kebenaran.
Mempresentasikan fakta, informasi yang menyesatkan itu menghancurkan kebenaran. Dan "suppressio veri, suggestio falsi". Artinya, memberangus kebenaran itu menunjukkan kebohongan.
Untuk itu saya sarankan kepada penulis untuk membaca putusan PN Palembang Nomor 24/Pdt.G/2015/PN. Plg. untuk mengetahui dan memahami bagaimana fakta-fakta yang sebenarnya dari perkara tersebut, dan saya sarankan juga sebaiknya tulisan tersebut ditarik atau dikoreksi.
Sebab bukan tidak mungkin pihak-pihak yang berkepentingan melakukan tuntutan hukum atas pernyataan-pernyataan yang dirasa tidak benar tersebut. Apalagi dalam Putusan PN Palembang itu tidak terbukti tergugat melakukan pembakaran hutan.
Gabriel Mahal, S.H.
Advokat/Jakarta (ddi/wwn)











































