Ojek Pangkalan Siapa yang Bela?

Ojek Pangkalan Siapa yang Bela?

Ichdinas S. Mustaqim - detikNews
Rabu, 09 Sep 2015 21:33 WIB
Foto: dinaz
Jakarta - Masyarakat Ibu Kota Jakarta saat ini tengah disibukkan dengan euforia moda transportasi Ojeg (G bukan K) berbasis aplikasi internet. Dipelopori pemuda lulusan Univ. Harvard Amerika Serikat, Nadiem Makarim membangun G# - Jek sebagai perusahaan penyedia jasa transportasi roda dua. Dan sukses.

Dalam waktu singkat saja, sejak awal tahun 2015 user yang mengunduh aplikasi G# - Jek besutannya itu mencapai 650.000 orang dengan pertumbuhan pengojek mencapai 10.000 orang yang bergabung (kompas online – 28/Juli/2015).

Setelah sukses di Jakarta, perusahaan yang mendapatkan bantuan dana dari investor Nortstar Group, Singapura itu terus mengembangkan sayapnya ke kota-kota besar di Indonesia, seperti Bandung dan Surabaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan kesuksesan yang diperoleh G# - Jek itu, kemudian bermunculanlah perusahaan-perusahan lain,Β  seperti G##B Bike, dan Bl# Jek sebagai perusahaan pesaing.

Tentu dengan konsep pelayanan yang sama: berbasis aplikasi internet melalui smartphone, serta ditunjang dengan biaya promosi besar-besaran, yang tentu saja bakal menarik penggunannya. Lalu bagaimana denganΒ  Ojeg tradisional atau istilah media menyingkatnya menjadi Opang (Ojeg Pangkalan)?

Belakangan setelah munculnya G# - Jek, dll (penulis mengistilahkannya "OPER": Ojeg Perusahaan), penolakkan demi penolakkan dari Ojeg Pangkalan pun kerap terjadi di beberapa titik Ibu Kota.

Baik berupa kekerasan fisik, maupun intimidasi yang bersifat verbal atupun vadalisme. Selain itu ada juga aksi grafiti berupa pemasangan spanduk-spanduk yang inti pesannya ialah penolak-kan terhadap "OPER".

Dengan maraknya penolakkan-penolakkan tersebut, maka Gubernur DKI Jakarta dan Institusi Kepolisian pun langsung meresponnya sesuai tupoksinya masing-masing dengan argumentasi yang menurut saya bermuara pada dua hal: 1). Pelaku kekerasan (pelanggaran) harus ditindak sesuai hukum yang berlaku; 2). Urgensi tentang revisi UU transportasi sebagaiΒ  payung hukum eksistesi keberadaan Ojeg (Perusahaan?).

Inilah repotnya era globalisasi, dimana teknologi merupakan pondasi dari gerak kehidupannya, sehingga begitu mudahnya masyarakat kita melupakan tren lama tanpa mau mengingat sedikit saja manfaat keberadaan ojeg dulu.

Sehingga dengan mudahnya melalui pelbagai media sosial masyarakat menghujat Ojeg Pangkalan, padahal disaat masyarakatΒ  tengah berpergiaan, lalu kebingungan atau tersesat mencari tujuan, maka Ojeg Pangkalan tempat mereka bertanya, atau berlindung di saat menunggu kerabat atau keluarga, atau melanjutkan perjalanan kembali.

Dan para Ojeg Pangkalan-lah yang juga paling respontif menolong di saat ada orang yang terkena musibah kecelakaan lalu lintas atau kejahatan di jalan raya.

Inilah sejatinya masyarakat kecil mencontohkan semangat tolong-menolong kepada sesamanya, semangat itu pula yang menginspirasi ide-ide Bung Karno, Bung Hatta,juga Bung-Bung masa lalu, manusia pergerakan dalam membangun prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari pangkalan Ojeg mereka yang hidup senasib, mendiskusikan dinamika kehidupan keluarga, lingkungan, daerah, hingga nasional. Dari tempat itulah semangat gotong-royong, serta solidaritas kebangsaan tumbuh subur bersemi. Karena itu tidaklah berlebihan jika Pangkalan Ojeg disebut sebagai salahsatu wadah budaya nenek moyang kita hidup.

Dan tentu tidak seperti konsep yang OPER buat, dimana menggiring masyarakat kita pada budaya individualis, sebab konsep teknologinya dibuat untuk memudahkan pengojeg pada konsumennya tanpa harus berkumpul di pangkalan.

Dipandang dari sudut efesiensi dan perkembangan jaman, penerapan teknologi memang sebuah keharusan, apalagi perkembangan informasi melalui internet saat ini seperti sudah menjadi kebutuhan masyarakat dunia.

Tetapi dengan melulu menyudutkan Ojeg tanpa melihat latar belakang masalahnya tentu ini juga sepihak dan tidak boleh dibiarkan.

Di sini pemerintah yang harus bertindak adil. Apalagi menurut "sejarahnya" Ojeg merupakan murni ide kreatifitas yang diciptakan masyarakat pedesaan (kecil) dengan memanfaat peluangketika negara belum mampu mengadakan moda transportasi yang mampu mengakses daerah-daerah (desa) terpencil.

Belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang luas. Ojeg sebenarnya merupakan akronim yang diciptakan masyarakat sunda (Jawa Barat), yaitu "Ongkos Ngajegang" dalam istilah lain "ngangkang".

Hingga pasca model pembelian kendaraan bermotor melalui sistem kredit secara massal diminati masyarakat inilah kemudian menjadi menjamurnya pangkalan-pangkalan ojeg ke daerah-daerah lain di Indonesia, dan menjadi tren saat ini di perkotaan. Dan sudah tentu, selain ekonomi, setoran kredit ialah alasan utamanya profesi itu.

Jadi jauh sebelum penggagas G# - Jek mengklaim dan diapresiasi banyak pihak karena dianggap "pandai" dan berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, sebenarnya masyarakat kecillah yang lebih dulu diberikan penghargaan atas jasa-jasanya memberdayakan dirinya sendiri disaat pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan moda transportasi yang mampu menjangkau daerah-daerah pedalaman.

Bagi penulis, "sengketa" yang terjadi di lapangan, merupakan nalar reaksi alamiah yang dilakukan Ojeg Pangkalan yang secara harfiah tentu dapat terbaca dengan mudah. Sebab siapapun akan marah jika ide kreatif dan potensi usahanya "dibajak" orang lain.

Terlebih lagi penerapan teknologi dan promosi yang luar biasa dasyat tentu berdampak merugikan bagi Ojeg Pangkalan. Alvin Tolffer, seorang futurolog, yang dikenal dengan buku-bukunya membahas revolusi digital; komunikasi; dan singularitas teknologi, sudah meramalkan dengan teorinya tiga gelombang perubahan jaman: pertanian; industri; dan informasi (hari ini).

Jadi penerapan teknologi informasi pada suatu bidang pekerjaan sebenarnya sudah dipeta-kan oleh Tolfer. Sehingga apa yang dilakukan pendiri G# - Jek, sesungguhnya bukan hal baru dan hanya tinggal memilih segmen apa yang dianggap paling menguntungkan.

Toh, pada gilirannya semua bidang sudah mulai mengarah (menerapkan) teknologi informasi dan komunikasi yang sama. Belanja online ialah salah satu pelopornya. Hemat penulis, perusahaan-perusahaan ojeg yang kini tengah menjamur sebenarnya tak lebih merupakan "mediator" (pelantara), atau dalam istilah kampungnya: CALO penumpang.

Pemilik modal yang "kreatif" merampas ide kreatif masyarakat kecil. Mengambil keuntungan dari kebutuhan pasar (konsumen) yang besar. Sama halnya dengan pengrajin bumbu masak terasi sebagai produk budaya (juga penggerak sosial-ekonomi) masyarakat pesisir pantai yang eksistensinya terus tergerus oleh terasi pabrikan.

Begitu juga dengan kopi seduh yang dulu menjadi ciri khas daerah-daerah di Indonesia, kini nyaris diseragamkan oleh kopi pabrikan. Inilah bentuk nyata kejahatan ekonomi (?).

Akibatnya fenomena ini berdampak pada hilangnya isnting kreatif dan keterampilan masyarakat kita dalam menciptakan produk kebudayaannya, sebagaimana diwariskan nenek moyang Nusantaraβ€”kini berubah menjadi tenaga "marketing gratis" (pedagang asongan; warung klontong; kedai kopi) aneka produk pemilik modal.

Padahal tidak sedikit ide kreatifnya sebenarnya bersumber dari masyarakat kecil.Disinilah keberpihakan pemerintah diuji.

Disinilah kehadiran pemerintah diharapkan. Bukan sekadar menjadi wasit, tetapi melindungi siapa pemilik sah sebenarnya. Jika ternyata OPER merupakan jalan halal pada era saat ini, maka tidak ada salahnya pemerintah membuat semacam badan usaha yang benar-benar mampu mengakomodir pengemudi Ojeg Pangkalan dengan segala dinamika dan masalahnya.Tentu dengan konsep seimbang dengan keberadaan OPER.

Jika tidak bisa, buatlah regulasi yang (seumpama) membagi wilayah operasi. Jika ternyata juga tidak mampu, berterima kasihlah pada Ojeg Pangkalan karena telah banyak membatu masyarakat dan pemerintah, sebelum mereka benar-benar hilang tergerus jaman.

Sebelum itu pertimbangkan pernyataan ini, "Hal yang mustahil. Bagaimana bisa menuliskan identitas "Ojeg" (G jadi K) saja keliru, apalagi mengkalimnya menjadi karya anak bangsa!"

*Penulis adalah Pembelajar Budaya; Wakil Sekretaris DPW BM PAN DKI Jakarta


Ichdinas S. Mustaqim
dinaz_zone@yahoo.co.id (wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads