Pengungsi Rohingya Usik Naluri Kemanusiaan Kita

Pengungsi Rohingya Usik Naluri Kemanusiaan Kita

Sahat Sitorus - detikNews
Selasa, 26 Mei 2015 10:37 WIB
Pengungsi Rohingya Usik Naluri Kemanusiaan Kita
Jakarta - Pagi hari Selasa, 19 Mei 2015, saya terkesima menyimak sekilas berita salah satu radio nasional tentang nasib ratusan pengungsi Rohingya yang "terdampar" di pantai Timur Pulau Sumatera.

Diberitakan, sejumlah negara di kawasan (ASEAN) menolak menerima mereka. Aparat melaporkan sebagian pengungsi menerapkan modus baru "dengan sengaja menceburkan diri ke laut agar ditolong".

Pengungsi yang selamat bercerita bahwa setelah terdampar sekian lama di laut lepas, para pengungsi di kapal yang terdiri dari para wanita, anak-anak balita dan pria dewasa saling berebut makanan, baku hantam bahkan baku bunuh di dalam kapal dengan alasan berebut makanan yang semakin menipis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akibatnya berlaku adagium "homo homini lupus, bellum omnium comtra omnes" manusia yang satu berperilaku serigala terhadap manusia lainnya.

Yang mengemuka ialah "sifat binatang sosial kemanusiaanya" pada saat terjepit dan akan mempertahankan hidupnya. Prinsip lebih baik membunuh d aripada dibunuh mencuat seketika.

Terlepas dari apa saja teori tentang sosiologi dan HAM yang dikemukakan para ahli menyaksikan dan menyiasati kasus Rohingya yang telah berlarut larut tanpa ujung.

Di tengah keengganan penguasa negeri asal pengungsi untuk menuntaskan persoalan Rohingya secara damai, tuntas dan jelas, maka pemerintah Indonesia tampaknya dapat memainkan kembali kartu trup "diplomasi kemanusiaannnya".

Yaitu dengan membuka kembali lembaran pengalaman yang sangat berharga dan mulia di mata dunia ketika menangani pengungsi manusia perahu Vietnam di Pulau Galang pada tahun 1980-an.

Dengan demikian Indonesia yang dikenal sebagai "Saudara Tua" di ASEAN dan the most populous Moslem Country in the world tidak dicap ambil bagian dalam penolakan pengungsi Rohingya.

Diplomasi kemanusiaan memang tidak akan pernah mati dan berakhir dan ini tentu saja tidak perlu dilihat dari latar belakang agama para pengungsi yang tengah sekarat dan memerlukan bantuan namun lebih mengedepankan penyalamatan sejumlah warga ASEAN yang tengah menyabung nyawa di laut lepas.

Opini ini tentu merupakan hak prerogatif Presiden kita Joko Widodo untuk memutuskan dan selanjutnya dibahas oleh para pemangku kepentingan dan ahlinya yang bertanggungjawab jawab menangani urusan pengungsi dan selanjutnya melakukan perundingan dengan PBB (UNHCR) terkait dengan jenjang waktu penampungan.

Serta penyandang dana selama proses repatriasi dan pengiriman kembali paar pengungsi ke negeri asalanya.

Para pengungsi tersebut dapat ditempatkan di pulau-pulau terluar Indonesia di perbatasan sekaligus menjadi bagian dari penguatan Diplomasi Perbatasan untuk menjaga keutuhan NKRI sesuai dengan semanagt Nawa Cita. Semoga.

*Penulis adalah Pengamat masalah Sosial (Pendapat Pribadi)


Sahat Sitorus
Jl Bambu Duri 3, Jaktim
sahatsitorus2015@yahoo.com

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads