Demam Akik dan Semangat Kemerdekaan

Demam Akik dan Semangat Kemerdekaan

- detikNews
Kamis, 05 Mar 2015 10:28 WIB
Demam Akik dan Semangat Kemerdekaan
Jakarta - Beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan ditemukannya (bahan) batu permata jenis giok di Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Tidak tanggung-tanggung berat giok yang ditemukan Usman (45th), seorang petani yang selama setahun terakhir beralih profesi menjadi pencari batu permata ini diperkirakan seberat 20 ton.

Dari pengamatan gambar foto dan televisi batu ini tampak sebesar kendaraan truk. Maka tidak heran berita penemuan ini langsung menyedot perhatian publik seantero Nusantara yang kebetulan tengah dilanda demam batu akik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain di Kabupaten Nagan, di daerah bergelar serambi mekah sendiri, secara mengejutkan ternyata hampir di seluruh wilayahnya ditemukan batu giok.

Hal ini pun tampaknya baru disadari pemerintah daerahnya setelah masyarakatnya berbondong-bondong memburu batu giok dengan beragam variannya, hingga menyusuri sungai-sungai, pegunungan, dan pelosok hutan.

Meski kemudian respon pemerintahan Aceh (akan) membuat kebijakan (dan fasilitas) sebagai sentra dan pemurnian batu Giok Aceh juga patut diapreasi (kecuali penerapan pajak).

Tidak hanya Aceh, kegandurangan masyarakat dengan batu permata (akik) juga sebelumnya sudah mewabah di beberapa daerah di Indonesia, utamanya Ibu Kota Jakarta, kini terus merambah ke segala pelosok tanah air.

Di kota-kota, di desa-desa, di kampung-kampung, terminal, pasar, dan seterusnya, secara masif masyarakat terus bergerak mengkplorasi (dan mengeksploitasi) daerahnya masing-masing guna mencari batu akik.

Sebut saja, Palembang, Padang, Bengkulu, Lampung, Banten, Garut, Sukabumi, Pacitan, Yogyakarta, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan seterusnya, Sabang hingga Merauke.

Bahkan Kabupaten Purbalingga, yang daerahnya merupakan penghasil batu permata berjenis klawing (blood stone), pemerintah daerahnya mengeluarkan kebijakan mewajibkan bagi PNS-nya menggunakan permata klawing yang dihasilkannya sebagai media promosi daerah.

Sedangkan di Jakarta, Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur yang sejak puluhan tahun silam memang sudah eksis melakukan transaksi penjualan batu permata merupakan poros penggerak geliatnya perdagangan di seluruh sudut Ibu Kota.

Di tempat inilah selanjutnya pusat permintaan berbagai jenis bebatuan permata dari seluruh Nusantara banyak berdatangan dan diperkenalkan. Jika tiga tahun sebelumnya batu akik hanya digandrungi para tukang becak, tukang minyak, atau para orang tua lanjut usia, dan dunia kelenik, maka kini, usia bukan lagi menjadi pembatas untuk menikmati keindahan batu Akik.

Namun demikian sangat disayangkan sentra perdagangan batu permata sekelas Rawa Bening juga banyak memperdagangkan batu sintesis atau buatan.

Ketua Harian Asosiasi Pedagang Batu Mulia JGC Tobikin mengungkapkan, di JGC saja lebih dari 75 persen batu akik yang dijual itu bukan merupakan batu alam (merdeka.com - 17/02/2015).

Kegandrungan massal seperti ini bukan tanpa kritik. Mengingat ada beberapa jenis batu permata seperti batu bacan (chrysocolla chalcedony), Giok Aceh (jade), kalimaya (black oval) dan batu gambar bermotif (bertuliskan) tertentu dapat bernilai jutaan, bahkan hingga milyaran rupiah harganya, membut banyak kalangan mulai menganalisis dengan berbagaimacam sudut pandang keilmuan.

Sebuah artikel berjudul "Tentang Ilmu Financial psychology, Booming Batu Akik dan Kegoblokan Kolektif", ditulisYodhia Antariksa cukup beralasan.

Dalam tulisan yang di share oleh seorang teman di laman facebooknya itu, Yodhia mengutip sebuah pernyataan seorang ahli psychology dengan maksud membandingkan fenomena batu akik dengan fenomena tanaman gelombang cinta (anthorium) yang pada delapan tahun lalu, saat boomingnya sempat menembus harga jutaan rupiah per pohonnya.

"Para pakar ilmu financial psychology fenomena itu sebagai 'financial mania'. Sekeping fenomena yang bisa membuat kita tenggelam dalam 'kegoblokan kolektif'", tulisnya bernada satir.

Sebagai penguat argumentasi dalam tulisan itu Ia juga mengungkapkan teori-teori psychology yang sudah tentu dengan juga melampirkan data tentang fenomena financial mania berikut tahun (dan usianya) yang pernah terjadi di dunia.

Di mana kehebohan masyarakat di Belanda pada bunga tulip sekitar 400 tahun yang silam, technology stock mania di berbagai bursa saham di dunia, property mania di USA, yang pada intinya secara halus penulis artikel tersebut ingin mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengidap "kegoblokan kolektif". Benarkah demikian?

Sejarah Pradaban Dunia dan Ritual Keagamaan

Dalam sejarah pradaban manusia, sejarah mencatat bahwa hampir di seluruh wilayah kerajaan dan masyarakat di dunia, seperti Asia, Eropa, Timur Tengah, Afrika, menggemari batu permata sebagai perhiasan baik yang digunakan pada tubuh, properti, maupun sebagai alat transaksi.

Begitu pula demikian dengan kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh Nusantara dahulu. Sebagian percaya hal tersebut dapat meningkatkan kewibawaan atau menunjuk-kan strata sosial tersendiri.

Ratu Cleoparta yang melegenda kecantikannya konon menggunakan chrysocolla chalcedony sebagai permatanya. Yang paling anyar, pada abad moderen Pangeran Charles, Inggris meminang Putri Diana dengan batu blue safir, dan kemudian dilanjutkan oleh Pangeran William anaknya meminang Kate.

Dalam sejarah ritual keagamaan batu juga "menghias" di dalamnya. Seperti pada ajaran umat Yahudi, di mana seorang imam besarnya diperintahkan mengenakan batu permata berharga pada jubah yang dikenakannya, di mana ke 12 batu permata itu melambangkan nama para anak Yakub (suku bangsa Israel).

Di Cina, pada masa dinasti Shang lencana-lencana yang terbuat dari batu giok digunakan pada upacara-upacara keagamaan. Selain itu seniman pahatnya juga mengembangkan giok menjadi perhiasan yang dipercaya sebagai penjaga keselamatan bagi pemakainya.

Dalam sejarah Islam (kalau boleh di sebut permata), Nabi Ismail menemukan (batu) hajar aswad saat beliau dan ayahnya kekurangan material batu saat membangun Kabah, lalu menyerahkannya kepada ayahnya Nabi Ibrahim yang kemudian menyukainya hingga menciumnya berulang-ulang kali.

Dan pada saat hendak meletakannya mereka mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali sambil menggendong Hajar Aswad—dan ritual tersebut hingga kini terus dilakukan, khususnya pada saat menunaikan ibadah haji.

Dalam surat Arrahman ayat 22, Allah bahkan mengilustrasikan kebesarannya dengan menyebut mutiara (permata) dan (batu) marjan.

Semangat Kemerdekaan

Suka atau tidak demam batu akik yang melanda masyarakat Indonesia tidak lepas dari nama presiden SBY dan Ibu Ani. Sebab konon Ia pernah memberikan cendera mata permata Bacan (chrysocolla chalcedony) kepada Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.

Sejak desas-desus itulah masyarakat di daerah-daerah terus membangun kearifan lokalnya masing-masing. Arus bawah ekonomi mikro masyarakat terus menggeliat.

Bukan saja soal kesenangan semata, akan tetapi mereka seolah berontak dengan konflik elit, korupsi pejabat, debat pamer retorika, teror kejahatan di jalan, degradasi moral massal, yang terus-menerus dipertontonkan media setiap harinya.

Mereka lebih memilih mengalihkan perhatiaannya kepada sesuatu yang secara naluriah memang tertanam dan hidup di dalam dirinya: "Berkarya dan menikmati keindahan potensi alamnya".

Bung Karno mengatakan, "Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya”. Banyak masyarakat kecil yang ekonominya tersejahterakan akibat demam batu akik ini.

Tetapi pada intinya, sejatinya masyarakat kita tengah mencari kebanggaan kolektif, mengejar keindahan yang terdapat pada baktu akik, kenikmatan batin yang sudah langka mereka dapatkan.

Alam mendorongnya untuk berkreatif dan berkarya. Itu sejatinya karakter asli bangsa Indonesia yang memang sudah tak terhitung jumlahnya nenek moyang kita melahirkan bemacam-macam produk dan jenis kebudayaan Nusantara.

Sudah tentu dengan juga menjaga faktor keselamatan lingkungan juga penting dan seyogyanya harus diperhatikan. Tidak serakah sebagaimana dicontohkan pejabat-pejabat korup.

Jika pada masa penjajahan dulu, tua, muda, kaum lelaki, dan perempuan, kaum terpelajar atau tidak, kaum bangsawan, jelata, tani, buruh nelayan, secara masif perlahan-lahan bersatu-padu menghidupkan semangat kemerdekaan.

Di mana arti kemerdekaan diterjemahkan: berwibawa (berdaulat); berekonomi sejahtera; berkarya dan berkarya.. Yang pada imajinasinya kemerdekaaan ialah bentuk (jalan) keindahan.

Spirit itu pula yang kemudian menyatukan tekat seluruh rakyat nusantara dari lintas generasi (usia) dan gender, hingga kepelosok desa-desa, kampung-kampung, hutan belantara, kota-kota, suku-suku, agama, bersatu menggapai keindahan alam kemerdekaan.

Maka pada masa kini, anggaplah secara gila penulis mengatakan bahwa semangat (berkreatifitas) mencari keindahan pada batu akik inilah yang menyatukan semua generasi (usia), golongan, strata sosial, dan seterusnya untuk bersatu-padu, berintraksi membicarakan keindahan batu akik.

Serupa seperti semangat kemerdekaan yang terus menular ke semua kalangan, strata sosial, kota, dan pelosok desa-desa.

Dan perlu juga diingat bahwa fenomena demam akik masyarakat di seluruh pelosok tanah air ialah kegandrungannya terhadap batu lokal, batu alamnya sendiri, alam nusantara yang kaya raya dan alam yang membuat iri bangsa-bangsa di dunia.

Tua, muda, kaum lelaki dan perempuan, rakyat jelata, pejabat, pengusaha, politisi, buruh, tani, nelayan, bahkan anak-anak, semuanya menggandrungi (membagakan) batu permata dalam negeri.

Seolah tidak ada celah untuk batu impor, sebagaimana sebelum terjadinya booming hanya permata luar negeri saja yang sepertinya berkelas dan diminati kelas menengah atas di Indonesia.

Perwujudan semangat dan konsesus seperti inilah yang sejatinya dapat membesarkan bangsa Indonesia dalam percaturan global dan tren internasional.

Ini soal selera. Soal seni. Soal penghargaan terhadap potensi alamnya. Soal kreatifitas, keindahan, dan karya masyarakat yang harus selalu hidup pada diri bangsa Indonesia.

Siapapun boleh berpendapat miring tentang batu akik. Anda boleh saja berpendapat miring dengan mengatakan, "kembali ke jaman batu", "akan sama nasibnya seperti ikan lohan, anthorium, dan burung kicau, yang juga pernah booming sebelumnya”, tetapi pelu dicatat batu permata tidak seperti ikan lohan, burung kicau dan tanaman anthorium yang dalam kurun waktu dekat dapat dikembangbiak-kan.

Sementara permata, alam membutuhkan waktu berjuta-juta tahun lamanya membentuk, ohen (hijau garut), bacan, kalimaya, giok, dan seterusnya.

Bangsa maju seperti Inggris hingga kini menggunakan safir (dan barlian) untuk pertunangan, Jepang yang menggunakan kalimaya sebagai mahar dalam pernikahan, Prancis yang memberikan permata blood stone (klawing atau batu darah) untuk menandakan gelar kebangsawanan.

Dan perlu juga diketahui Indonesia pernah menghebohkan Asia dengan ditemukannya berlian sebesar telur burung yang oleh Presiden Soekarno dinamai "berlian Trisakti" (1965).

Dan di tahun-tahun berikutnya menyusul berlian "Putri malu" ditemukan di tempat yang sama Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Belum lagi taman batu Jasper (batu merah) yang dihasilkan dari Kampung Pasir Gintung, Kecamatan Panca Tengah, Tasikmalaya, di mana secara perlahan-lahan, berpuluh-puluh ton, sejak beberapa tahun terakhir sudah berpindah tempat ke negeri orang.

*Penulis adalah Sekjen Komunitas Anak Muda Cinta Indonesia (AMCI)


Ichdinas SM
dinaz_zone@yahoo.co.id
085221051381

(wwn/wwn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads